Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ketika Keruh Membikin Sepak Bola Tak Lagi Menarik

30 Maret 2021   21:54 Diperbarui: 30 Maret 2021   22:30 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. foto kompas.com/septian nugraha

Sepertinya sudah 28 tahun yang lalu, aku mulai menyemai kecintaanku pada berita sepak bola secara serius. Tapi, semakin ke sini, aku semakin tak tertarik dengan sepak bola. Bukan karena sepak bolanya, tapi keruh yang membuat sepak bola tak lagi memiliki pesona luar biasa di hadapanku.

Ya, 28 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku membeli tabloid BOLA dengan uangku sendiri. Maksudnya, uang hasil tabunganku, sisa duit sekolah yang diberi bapak. Aku serius membeli tabloid, ketika pengetahuanku tentang sepak bola di tahun 1993 mulai merayap tak keruan.

Kala itu, harga BOLA seingatku masih Rp 625. Tapi, uang segitu adalah uang yang besar karena uang jajanku sekolah seingatku hanya Rp 100. Dari situlah, aku selalu kecanduan membaca berita sepak bola. Sebanyak 18 stadion miliki tim di Serie A waktu itu, aku hafal. Sebanyak 20 stadion milik tim Liga Inggris, aku hafal.

Ya tidak kaget karena setiap melihat koran, aku selalu baca soal sepak bola. Sepekan sekali sering beli tabloid BOLA. Rasa cinta membaca itu, bertalian dengan rasa senang menonton sepak bola di TV. Bahkan, di musim 1993-1994, aku rela menonton siaran tunda sampai selesai, laga BPD Jateng di Galatama yang disiarkan TPI. Zaman itu, siaran live sepak bola adalah barang mahal. Maka siaran tunda pun tak masalah. Tidak ada rotan, akar pun jadi.

Cukup di situ saja kenangannya. Nah, belakangan, sepak bola menjadi hal yang tak menarik. Apalagi ketika ada isu suap merajalela. Bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.

Sepak bola seperti barang dagangan yang bergelimang. Semua dipermak, dikarbit, dipompa, sampai tak manusiawi demi dagangan bernama sepak bola. Unsur dagangan bagiku kental terlihat.

Terbaru, dugaan pelanggaran hak asasi manusia terjadi di Qatar. Negara yang akan jadi tuan rumah Piala Dunia 2022 itu diduga mempekerjakan para pekerja tak manusiawi sehingga banyak yang meninggal dunia.

Beberapa negara sudah melancarkan serangan ke Qatar. Bahkan, pelatih Belanda berbicara kemungkinan tak ambil bagian di Qatar jika Belanda lolos. Hal itu sebagai bentuk protes tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Dugaan pelanggaran itu makin membuat keruh dunia sepak bola. Bukan permainan di atas lapangan, tapi aksesoris yang menyertainya. Tidak enak rasanya menonton sepak bola yang indah itu, dibarengi dengan imajinasi kematian banyak orang yang membangun infrastruktur sepak bola.

Aku kadang malah berpikir, bagaimana jika negara super power di sepak bola sudah mengutarakan niatnya untuk memboikot Qatar 2022. Negara super power di sepak bola itu memboikot sebagai bentuk perlawanan pada keruh dunia sepak bola. Mungkin seperti itulah cara yang baik untuk menjewer sekelompok pemangku kepentingan sepak bola, yang telah menjual keindahan sepak bola, yang telah membuat keruh sepak bola.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun