Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kini Mayoritas, Besok Bisa Minoritas, dan Selanjutnya...

25 Januari 2021   08:52 Diperbarui: 25 Januari 2021   09:01 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. THINKSTOCKS/ANNASUNNY dipublikasikan Kompas.com

Ini hanya perenungan saja. Di beberapa tempat, tak perlu saya sebutkan, diskriminasi pada minoritas itu ada. Di Asia, lihatkan informasi sahih tentang cerita perih yang menimpa mereka para minoritas. Tentu tidak di semua tempat cerita perih minoritas itu ada.

Tapi, saya bisa katakan bahwa cerita perih minoritas itu ada. Sekali lagi tak perlu saya sebutkan di mana tempatnya karena Anda semua bisa mencarinya. Minoritas itu macam bentuknya. Ada minoritas terkait agama, ada minoritas terkait suku, dan lainnya. Intinya, mereka memiliki jumlah kecil dari jumlah manusia di sebuah area.

Aku hanya ingin merenung tentang minoritas dan mayoritas ini. Yang perlu jadi contoh adalah bagaimana minoritas dan mayoritas bisa hidup berdampingan. Yang mayoritas tidak menyerang yang minoritas, yang minoritas tak merecoki mayoritas. Hidup damai berdampingan itu sangat enak. Sangat enak.

Karena mungkin sebagian kita tak pernah menyelami hidup berdampingan yang enak, akhirnya inginnya berpolemik. Kalau sampai polemik menjalar dan berdarah-darah, baru tahu rasa bahwa kedamaian itu mahal harganya. Sekali lagi, hidup berdampingan mayoritas dan minoritas itu adalah hidup yang membahagiakan. Berdampingan sembari terus menghormati perbedaan.

Maka, untuk hidup damai berdampingan, yang mayoritas jangan menekan yang minoritas. Jangan sampai minoritas ditekan dengan aturan khusus versi mayoritas. Itu akan jadi petaka. Pernahkah berkhayal bahwa mereka yang mayoritas kemudian harus pergi dari tempatnya dan menjadi minoritas di tempat lain?

Pergi dari tempat asalnya karena akan bekerja, pergi dari tempat asalnya karena akan sekolah, dan banyak lagi. Ketika ada di tempat baru ternyata menjadi minoritas. Pernahkah berkhayal jika jadi minoritas kemudian diperlakukan tak adil atau ditekan, bagaimana rasanya?

Perilaku yang menekan minoritas itu harus dihapus. Perilaku yang merecoki mayoritas itu juga harus dihapus. Supaya kita semua tak menurunken kebencian pada anak cucu kita. Anak cucu kita yang bergelimang dengan cerita permusuhan antara minoritas dan mayoritas, hanya akan membuat kepala mereka penuh dengan kebencian. Bukan modal yang bagus untuk masa depan.

Bayangkan juga. Misalnya, anak Anda harus pergi ke satu tempat dan jadi minoritas. Bagaimana jika anak Anda yang sudah dijejali kebencian itu kemudian hidup di tempat lain dan menjadi minoritas. Mengerikan jadinya.

Hidup itu seperti rantai yang tak putus. Semua berkaitan dan membuat kita harus berpikir mendalam. Kini si A jadi bagian mayoritas, tak tahu esok atau lusa karena migrasi, si A jadi minoritas. Hidup itu tentang ketidakpastian. Menekankan kebencian dan permusuhan hanya akan jadi warisan purba yang tak ada juntrungannya. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun