Sejak mengetahui kabar Refly Harun berbincang dengan Nur Sugik atau Gus Nur itu, saya langsung bertanya pada diri sendiri. Apa sebenarnya motivasi pakar hukum tata negara mengundang Sugik?
Ternyata pikiran saya ini juga sama dengan beberapa orang yang komentarnya saya baca di dunia maya. Mereka bertanya mengapa Refly sampai mengundang Sugik.
Saya meyakini bahwa Refly tahu sepak terjang Sugik yang kontroversial itu. Ucapan kotor Sugik sering menghiasi aksinya di dunia maya. Bagi orang Jawa, ujaran yang diungkapkan Sugik levelnya kasar. Hal itu sering diucapkan berulang-ulang dalam kapasitas dia mendefinisikan atau terdefinisikan sebagai pendakwah.
Soal ilmu? Saya tak paham apa spesifikasinya. Ahli tafsir? Ahli fiqih? Perbandingan agama? Atau apa? Bahkan pernah melakukan cocoklogi soal nama Jokowi. Itu dilakukan di tempat ibadah. Kan makin kacau.
Setahu saya dia juga pernah berurusan dengan polisi karena dinilai menghina NU. Dengan rekam jejak seperti itu, Sugik diberi panggung oleh Refly. Dugaannya pun kemudian jadi nyata bahwa dari obrolan Sugik dan Refly berujung ke kepolisian.
Makanya saya pikir. Apakah Refly tak pernah berpikir sejauh itu. Bahwa dari ruang yang dia bangun untuk Sugik itu kemudian muncul persoalan. Persoalan antara Sugik dan NU. Dari perbincangan itu kemudian ada yang tersakiti.
Saya juga berpikir, masa sekelas Sugik berbicara soal NU. Dia sendiri sudah mengaku keluar dari NU. Walaupun kapan masuknya juga banyak yang tak tahu. Refly pun seperti memberi keleluasaan bagi Sugik untuk bicara soal NU.
Kini Sugik sudah diproses kepolisian. Dari acara Refly itu kemudian ada yang tersakiti dengan omongan Sugik. Sebuah acara yang kemudian berujung pada masalah hukum.
Apa motivasinya memberi ruang pada orang kontroversial? Apakah hanya ingin viral saja? Masa sekelas pakar hukum tata negara hanya ingin mencari viral? (*)