Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banyak Petani Punya Anak Jadi Pejabat, Berhasilkah?

24 September 2020   16:58 Diperbarui: 25 September 2020   01:46 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. dok humas kementerian pertanian dipublikasikan kompas.com

Saya baru tahu kalau hari ini adalah hari tani, setelah melihat tulisan kompasianer Julita Hasanah. Saya mencoba menceritakan beberapa waktu yang lalu. Saat ada cerita banyak petani yang anaknya sukses jadi pejabat atau pebisnis. Pertanyaan saya waktu itu adalah, apakah petani dikatakan berhasil ketika anaknya jadi pejabat?

Cerita ini terjadi saat saya ikut acara "kumpulan" di desa beberapa tahun lalu. Kumpulan yang menghadirkan pejabat pemerintah. Di masa itu, sang pejabat ini bercerita fenomena di sebuah desa. Saya lupa nama desanya. Tapi, intinya sang pejabat itu bercerita bahwa di desa itu bisa dikatakan berhasil.

Desa itu adalah desa para petani. Namun, anak-anak dari petani itu berhasil menjadi orang. Tentu definisinya adalah bahwa anak para petani itu kemudian tak menjadi petani. Ada yang jadi pejabat ada yang jadi pebisnis. Oleh sang pejabat itu, fenomena desa seperti itu bisa dikatakan keberhasilan.

"Desa yang berhasil karena bapaknya petani, anak anaknya banyak yang jadi orang berhasil (pejabat atau pebisnis)," begitulah kira-kira pernyataannya kala itu. Mungkin benar saja definisi itu. Tapi, saat itu khayalan saya langsung melayang.

Saya kemudian membayangkan orang-orang di sekitar saya yang menjadi petani. Ternyata sangat sedikit pemuda yang jadi petani. Anak muda lebih memilih tak menjadi petani. Saya berkhayal, sepertinya pertanian menuju kepunahan sejalan dengan para petani yang makin menua.

Di satu kesempatan, saya mendapatkan konfirmasi dari orang yang memutuskan tak menjadi petani lagi. Orang itu bilang ke saya, bahwa menjadi petani sangat berat. Dia memilih kerja di proyek dengan upah yang jelas dan lebih besar.

Orang memang tak bisa dipaksa untuk menjadi petani. Tidak menjadi petani adalah pilihan. Ketika banyak yang tak menjadi petani, maka pertanian akan makin hilang. Sawah dan sejenisnya itu kemudian akan berubah secara alamiah menjadi beton-beton.

Tapi juga sangat disayangkan ketika negeri yang subur ini kemudian hanya menjadi penumbuh bangunan. Negeri yang subur ini kemudian menjadi pengimpor makanan. Itu sangat ironis. Maka, sebenarnya pemerintah memiliki tugas yang tak ringan.

Pemerintah perlu bisa memberi cerita indah soal petani. Pemerintah bisa memberi pandangan bahwa petani adalah profesi yang membanggakan dan mencukupkan. Pemerintah dengan segala kewenangan membuat kebijakan, harusnya bisa membuat cerita indah itu.

Sekarang bayangkan saja ketika pemerintah kurang hadir dan mengabaikan pertanian. Pemerintah membebaskan warganya untuk pergi dari pertanian. Ya jadinya ini adalah negeri yang subur yang lebih akrab dengan benih-benih beton.

Di sisi lain, fakta yang tergelar memang tak mengenakkan. Saya sendiri pernah merasakan bagaimana kesulitan mencari pupuk kala membantu petani. Saya pernah menulisnya di kompasiana, beberapa bulan yang lalu. Bahkan beberapa petani juga mengungkapkan jika menjadi petani tak menguntungkan secara pendapatan. Apalagi jika harga komoditas anjlok saat panen.  Mereka pun kemudian menjadi petani sebagai bentuk untuk bertahan hidup, bukan untuk menjadi sejahtera apalagi kaya raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun