Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Murid Bodoh, Mungkin karena Belum Bertemu Guru yang Tepat

26 Maret 2020   19:05 Diperbarui: 26 Maret 2020   18:59 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto quipper indonesia dipublikasikan kompas.com

Menarik salah satunya karena kita ingin tahu dan bisa masuk dalam ruang obrolan itu. Rasa penasaran dan ingin tahu lebih banyak ternyata menjadi alasan baru kenapa mau membaca buku. Maka saat kuliah, yang menarik saya untuk membaca buku bukan karena cinta, tapi karena rasa ingin tahu.

Guru saat kuliah tentu adalah dosen, tapi ada guru lain, yakni suasana rasa ingin tahu yang tinggi atau iklim belajar hidup dan  belajar dari buku. Iklim itulah yang kurang saya dapatkan sebelumnya.

Tapi di masa kuliah, saya seperti berada di tumpukan ilmu tanpa bisa memilah dengan baik ilmu-ilmu itu. Ibaratnya saya ada di tempat pembuangan akhir sampah, tanpa bisa memilah mana sampah organik dan mana sampah anorganik, dan lainnya.

Saat di dunia kerja, saya dipaksa membaca karena tuntutan kerja. Saya harus membaca, mendengarkan, dan harus menuliskannya dengan sistematis. Jadi saya membaca karena kebutuhan. Kebutuhan itu kemudian membuat saya membaca, mendengar, merangkai sistematis, yang tentu tidak mudah. Adakalanya saat menulis laporan, saya harus memaksa diri membaca dasar paling dasar tentang asal muasal sebuah informasi.

Jadi di masa kerja (khususnya saat masih bujangan), saya merasa dalam ritme tertinggi untuk belajar, untuk membaca, menambah pengetahuan. 

Saya melakukannya karena butuh dan karena rasa ingin tahu. Belakangan karena butuh dan rasa ingin tahu itu, saya jadi cinta untuk belajar dan membaca. Tapi, sebagai catatan, itu terjadi semasa masih bujangan. Karena kini sudah menjadi orangtua, tentu orientasi dan kebutuhan sudah berbeda.

Guru terbesar saya untuk memburu ilmu pengetahuan adalah pengalaman. Maka saya butuh waktu lama untuk "sempat" mencintai ilmu. Pengalaman itu tentu terdiri atas guru, momen, rasa ingin tahu, dan lainnya yang tergabung dalam satu masa. Setiap orang itu beda. Ada yang hanya dijelaskan guru langsung paham. Ada yang bukan hanya dijelaskan, tapi butuh contoh konkret sehingga paham. Ada yang paham kalau dipraktikkan langsung. Nah, saya termasuk yang terakhir, belajar dengan berpraktik.

Maka, jika ada anak dari saudara-saudara yang belum jos dalam pelajaran, jangan langsung vonis anaknya. Bisa jadi dia belum  menemukan guru yang tepat dan belum menemukan cara yang tepat untuk menyerap pelajaran.

Tapi juga bisa jadi catatan. Ketika guru A tidak tepat dengan anak Anda, bisa jadi guru A tepat dengan anak lain. Dan satu lagi... wajarnya yang tahu cara belajar anak yang paling tepat atau "guru" yang paling tepat adalah orangtuanya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun