Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Murid Bodoh, Mungkin karena Belum Bertemu Guru yang Tepat

26 Maret 2020   19:05 Diperbarui: 26 Maret 2020   18:59 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto quipper indonesia dipublikasikan kompas.com

Hanya ingin memberi gambaran berdasarkan pengalaman pribadi bahwa "guru" yang tepat itu penting. Guru dalam tulisan ini pun tak terbatas orang, tapi juga pengalaman spiritual dan pengalaman hidup lain.

Awalnya saya melihat di sebuah acara televisi. Sudah lama sekali acara itu saya lihat. Ada seorang tokoh pendidikan yang mengungkapkan pernyataan seperti judul di atas. Sayangnya saya benar-benar lupa siapa nama tokoh pendidikan itu.

Saya akan bercerita tentang diri saya sendiri. Semasa sekolah dulu saat SD sampai SMA, membaca buku pelajaran itu adalah beban. Sangat beban dan tak ada nikmat-nikmatnya. Membaca buku pelajaran jauh lebih berat daripada lari beberapa kilometer. Tapi perlu dicatat, bukan saya tak suka membaca. Saya sangat antusias membaca jika berurusan dengan sepak bola.

Dahulu tahun 90-an, stadion yang jadi home base 18 tim di Liga Italia Serie A, saya hafal di luar kepala. Juara Piala/Liga Champions dari tahun 1990 saya juga hafal di luar kepala. Siapa juara piala dunia dari tahun 1930, saya juga hafal di luar kepala. Semua itu saya dapatkan dengan membaca, membaca tabloid BOLA. 

Zaman itu, untuk mendapatkan informasi sepak bola tak semudah saat ini yang tinggal membuka handphone. Dulu harus memburu tabloid dan sejenisnya yang tentu butuh perjuangan karena harus menyisakan uang saku, pergi ke agen koran yang jauh dari rumah.

Maka, ada dua hal yang berbeda yakni suka baca hal berbau sepak bola tapi malas membaca buku pelajaran. Maka, problem saya bukan tidak mau membaca tapi membangun rasa cinta pada buku pelajaran. Dan sampai lulus SMA saya tak pernah mendapatkan cinta pada buku pelajaran itu.

Sebenarnya, saat SD ada seorang guru yang mengilustrasikan bahwa rasa suka dan cinta akan membuat orang akan lebih mudah tahu. Sang guru mengilustrasikan gajah karena anak anak suka gajah. 

Sekali saja melihat gajah, anak anak tahu bahwa gajah memiliki badan besar, telinga besar, belalai, dan seterusnya. Anak anak termasuk saya mengiyakan bahwa bisa menjelaskan gajah sekalipun hanya sekali melihat. Sang guru mengatakan hal itu terjadi karena suka, karena cinta.

Sementara, sudah baca buku pelajaran berkali-kali tetap saja tak paham. Paling banter hanya menghafal. Lalu kenapa hal itu terjadi? Karena memang tak suka dan tak cinta dengan buku. Namun, pernyataan guru itu terasa kurang. Mungkin sang guru sudah menjelaskan dan saya tak menyimak atau belum menjelaskan. Yang kurang adalah, bagaimana cara mencintai buku pelajaran. Dan sampai SMA saya tak bisa mencintai buku pelajaran.

Kemudian, saat kuliah, saya mulai disuguhi buku-buku yang di luar buku pelajaran yang bisa menunjang. Teman teman kuliah asyik membicarakan soal buku "Ronggeng Dukuh Paruk", kumpulan esai "Catatan Pinggir", karya-karya Danarto. Teman teman juga membedah di balik tulisan atau naskah Iwan Simatupang yang berjudul "Petang di Taman", karya Slawomir Mrozek yang berjudul "Out at Sea". Kadang karena terus penasaran saya cari dan beli buku lain seperti "Pasar", "Hikayat dari Italia", dan lainnya.

Saat kuliah saya memiliki keasyikan baru dengan buku, bukan lagi dengan tabloid olahraga. Walaupun lebih banyak buku sastra. Ternyata ketika buku itu diobrolkan menjadi menarik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun