Mohon tunggu...
Ikram Hagi
Ikram Hagi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membaca Adalah Jendela Dunia

16 Mei 2015   04:20 Diperbarui: 4 April 2017   17:28 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Buku adalah jendela dunia. Ya, pepatah itu kurasa tepat. Agamapun juga mengatakan hal yang sama. Tuhan melelaui ayat Alquran pertama yang turun kepada Nabi Muhammad memerintahkan hambaNya untuk MEMBACA. Membaca dalam hal ini bukan hanya dalam arti sempit membaca sesuatu yang tertulis, melainkan juga membaca tanda-tanda kebesaranNya dan memahami makna di setiap hal yang telah kita baca. Kegiatan membaca bukan hanya sekedar melafalkan huruf-huruf dalam teks, tetapi juga mencerna di dalam otak, mencari maknanya dengan bantuan hat lalu diendapkani, dan menyimpan apa yang telah kita endapkan itu ke dalam jiwa. Agar jiwa kita semakin kaya sehingga kita bisa lebih dekat menjadi manusia yang hakiki. Membaca bukan sekedar kegiatan intelektual semata, melainkan lebih dari itu bisa menjadi kegiatan spritiual. Mengapa membaca bisa menjadi kegiatan spritual? Jawabannya bukan sekedar konteks membaca kitab suci. Pada saat kita membaca dengan niat yang tulus, kita secara tidak langsung sedang berupaya untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain, yaitu si penulis. Menurut Karen Amstrong, saat kita berusaha saat memahami orang lain atau sesuatu yang melekat pada dirinya, maka mau tidak mau kita juga harus melihatnya dari sudut pandang dia selain dari sudut pandang kita sendiri. Apabila kita berhasil, maka sebenarnya kita telah mengalami suatu transedensi. Kita melampaui ego, ‘keakuan’, kita sendiri dan menjadi manusia yang lebih toleran. Semakin sering kegiatan tersebut kita lakukan, maka kita akan menjadi orang yang semakin bijak, semakin jernih pikirannya, dan semakin toleran. Hal-hal itu sebenarnya juga diajarkan dan menjadi inti dari semua ajaran agama: menjadi manusia yang toleran.

Aku tertarik pada sebuah gambar. Di gambar tersebut, ada dua orang yang sedang berdiri berdampingan. Mereka berdiri menghadap tembok yang bergambar pemandangan yang indah dihiasi dengan bunga-bunga dan langit yang cerah. Dia terlhiat sangat bahagia melihat pemandangan yang ada di tembok tersebut. Berbeda dengan pria yang berdiri di sebelahnya, pria ini berdiri di atas tumpukan-tumpukan buku yang tinggi sehingga dia dapat berdiri lebih tinggi dari pria satunya. Atau seorang anak kecil yang berhadapan dengan tembok kusam di suatu lorong yang gelap. Anka itu juga melakukan hal yang serupa: melihat apa yang ada di balik tembok dengan berdiri di atas buku-buku yang bertumpuk. Dari ketinggian itu, mereka bisa melihat apa yang ada di balik tembok tsb. Ternyata, pemandangan di balik tembok tersebut sangat luas dan sangat beragam. Tidak sedikit hal-hal yang tidak enak dipandang, menyakitkan, menyedihkan, dll. Tapi ada juga pemandangan yang jauh lebih indah dari apa gambar yang tertempel di tembok di hadapannya. Semakin banyak buku yang ditumpuk, pemandangannya pun semakin jelas.

Maksud dari gambar di atas bukan berarti kita harus memiliki buku sebanyak-banyaknya lalu ditumpuk di depan sebuah tembok. Pesan dari gambar tersebut bisa kita dapatkan dengan menggunakan metafora tentunya. Inti dari pesan tersebut ada dalam pepatah yang telahku sebutkan di awal paragraf: Buku adalah jendela dunia. Semakin banyak kita membaca, pikiran kita untuk melihat dunia semakin jernih. Saat pikiran kita jernih, kita dapat melihat dunia secara lebih adil. Mengapa demkian? Karena dengan semakin banyak membaca, kita dapat melihat hal-hal yang ada di dunia dengan menggunakan perspektif yang berbeda-beda yang dirasa paling sesuai.

Selain itu, ada persoalan lain yang tidak kalah pentingnya. Tembok dengan gambar-gambar pemandangan yang indah seperti perumpaan di atas menunjukkan bahwa di dunia kita saat ini, terlebih karena pengaruh globalisasi dan perkembangan paradigma posmodernisme, dipenuhi ‘gambar-gambar’ serupa. ‘Gambar-gambar’ itu sengaja diciptakan oleh pihak yang berkuasa atau lebih kuat dari kita untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka mengkodisikan apa yang boleh kita lihat dan apa yang tidak boleh kita lihat. Mereka juga mengkondisikan apa yang kita anggap baik dan apa yang kita anggap buruk. Pihak-pihak berupa-rupa bentuknya. Bisa negara, perusahaan, pemimpin negara, teroris, media massa, kelompok masyarakat, partai politik, sampai keluarga. Kita pun menjadi tidak sadar akan pengondisian tersebut dan beranggapan bahwa “tidak ada yang salah dengan hidupku”. Semua itu menjadi bermasalah saat kita sudah terbiasa dengan suatu ‘gambar’ dalam waktu yang cukup lama, tiba-tiba gambar itu dicabut begitu saja di depan kita dan serta merta kita langsung melihat apa sebenarnya yang ada di baliknya. Pasti kita akan tergagap-gagap menghadapinya, tidak siap dan bisa jadi gila. Atau yang lebih parah, ‘gambar’ itu  diganti dengan paksa oleh ‘gambar’ lain yang sangat bertentangan. Shocking moment yang sama, bedanya kalau ini kita masih terjebak dalam ‘gambar’ buatan lainnya.

Apakah kita mau hidup seperti itu? Aku rasa tidak ada satu pun orang yang mau hidup demikian. Salah satu cara mengatasinya ya tadi, banyak-banyak lah membaca. Membaca buku, koran, artikel, dll. Menonton film pun bisa termasuk dalam kategori membaca apabila kita bisa menangkap makna darinya, meskipun dengan keterbatasannya dalam kepadatan makna, pesan, dan pembentuk imajinaisi. Hasil bacaan dapat didiskusikan dengan teman sebagai upaya untuk memperkaya pemahaman serta membuat ikatan ‘orang-orang yang mengejar kejernihan pikiran”. Proses tersebut tidak mengenal waktu, usia, dan tempat. Semua itu harus dilakukan dengan konsisten dan lama, agar pikiran kita tetap tajam dan hati kita tetap peka akan realitas. Dengan begitu, kita bisa mendapat kapabilitas untuk menentukan apa yang kita ingin lihat dan apa yang tidak ingin kita lihat, apa yang menurut kita baik apa yang tidak. Kita juga dapat menyadari apakah pemandangan yang ada di depan kita adalah dunia yang sebenarnya atau hanya ‘gambar’ buatan orang lain atau mungkin ‘gambar’ yang kita ciptakan sendiri. Membaca membuat kita lebih kuat dan juga lebih manusiawi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun