Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Belajar Mengatasi Banjir dari Negeri Bawah Air

12 Januari 2021   21:33 Diperbarui: 15 Januari 2021   16:50 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.dutchwatersector.com

Ngomong -ngomong soal Banjir, saya selalu teringat dengan Negara Belanda. Betapa tidak, negara ini sering banget dilanda Banjir, tapi sekarang kok nggak pernah Banjir lagi ya!

Telisik punya telisik, negara Belanda rupanya sudah punya strategi jitu yang membuat negara ini paham bentul dalam mengatasi banjir. Indonesia sendiri bagaimana? Yang juga menjadi negara yang mudah dilanda banjir, terutama ibu kota. Belum terlambat bagi Tanah Air untuk Belajar Mengatasi Banjir dari Negeri Bawah Air.

Tahu nggak sih, Negara Belanda itu negeri yang unik. Salah satu alasannya, 60 % wilayah daratannya berada di bawah permukaan air laut, itulah sebabnya negara ini disebut Negeri Bawah Air (The Netherlands).

Dengan 60 % wilayah daratannya berada di bawah air laut, tentu saja Belanda menjadi negara yang paling rawan terhadap banjir.

Sejak abad ke VII, sejarah mencatat setidak-tidaknya telah terjadi 14 kali banjir besar di Belanda yang menjadikan negeri itu saat ini sangat tangguh dalam mengatasi banjir.

Diketahui, setelah hampir 40 tahun tidak pernah lagi dilanda banjir. Tiba-tiba pada tahun 1993 dan 1995 banjir besar kembali melanda negara Belanda yang menimbulkan kerugian ekonomi dan emosional yang sangat besar. Sungai Rhine meluap melampaui tanggul-tanggul yang telah dibangun dan membanjiri permukiman di belakang tanggul. Pada banjir tahun 1995, lebih dari 250.000 penduduk dan 1 juta binatang dievakuasi.

Program perbaikan dan mempertinggi ukuran tanggul-tanggul yang dibuat sejak tahun 60-an ditujukan terutama untuk menghadapi banjir dari laut. Sementara itu tanggul-tanggul sungai yang ada tidak lagi dapat mengatasi debit ekstrim Sungai Rhine, yang semakin tahun semakin besar karena perubahan iklim global yang telah merubah pola presipitasi.

*Ada yang tahu apa itu Presipitasi? Bagi yang belum tahu bisa dilihat pada footnote artikel ini.

Mempertinggi ukuran tanggul tidak lagi menjadi kebijakan yang penting, karena tidak mungkin tanggul dipertinggi terus menerus, sebab akan mempertinggi pula resiko bahaya banjir kepada daerah permukiman di belakang tanggul yang notabene berada di bawah permukaan air.

Tahun 2006 parlemen Belanda menyetujui suatu program yang disebut Room For The River. Program ini kemudian diterapkan oleh Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan Belanda yang bertujuan:

1. Memberikan ruang (space) yang lebih luas pada sungai untuk mengalirkan airnya pada saat terjadi debit ekstrim (kurang lebih 16.000 m3/detik).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun