Seringkali kita melihat baik melalui media cetak, media sosial maupun baliho-baliho di pinggir jalan, banyak orang terutama para pejabat mengucapkan selamat pada momen hari-hari peringatan. Hari menanam pohon, hari hak azasi manusia, hari anti korupsi, hari ibu dan lain sebagainya.
Saya menduga ucapan yang dipost tersebut hanya semacam euphoria belaka, mengikuti kelaziman dan trend pada saat ini.
Misalnya saja seorang kepala daerah memajang banyak baliho dan menebar banyak leaflet elektronik di media sosial bertajuk ucapan "Selamat Hari Menanam Pohon Sedunia" dibalut dengan poto diri yang seolah begitu peduli dengan alam. Tetapi ironisnya, tak satupun regulasi yang dia tetapkan sepanjang karirnya sebagai kepala daerah. Tak ada peraturan daerah yang dia keluarkan untuk dijadikan acuan memelihara alam. Itu kamuflase, dia bahkan tak faham cara menanam pohon yang benar.
Atau misalnya sebuah ucapan yang lebih nasionalis, ucapan "selamat hari Pancasila", sementara di daerahnya kerap terjadi ketimpangan sosial, dimana anak-anak terlantar tumbuh semakin banyak pada statistic yang dirilis oleh Lembaga survey. Banyak warga masyarakat yang masih kebingungan berobat dikala sakit karena keterbatasan biaya pengobatan. Yang lebih ironis ucapan selamat hari Pancasila dianggap secara otomatis bahwa dirinya sangat Pancasilais tanpa memperhatikan esensi dari Pancasila itu sendiri.
Dibeberapa data yang dirilis oleh situs aktifis pecinta alam, terjadi banyak penyusutan luas hutan Kalimantan contohnya, setiap tahunnya ribuan hektar hutan raib ditelan keserakahan pembangunan, tetapi lagi-lagi banyak toko nasional dengan bangga memposting gambar kepedulian terhadap hutan.
Apakah kita harus kagum dengan hal demikian?
Saya kira tidak, tak ada pelajaran yang dapat diambil dari ucapan-ucapan selamat tanpa esensi tersebut.
Semua orang dapat dengan mudah membuat gambar design yang mencitrakan dirinya sebagai seorang yang peduli aka napa saja, peduli anak, peduli alam, peduli hutan, anti korupsi, anti kekerasan dll. Tetapi yang sulit dijamin adalah keberadaan "ruh" dari pesan-pesan tersebut.
Tidak sulit membuktikan bahwa baik ucapan maupun pesan-pesan sosial hanyalah hiasan belaka. Beberapa kasus terjadi bahkan tidak lama setelah seorang pejabat dengan lantang mengucap bahwa dia menyatakan perang terhadap korupsi, atau poster-poster dipampang di tengah pembalakan hutan yang menggila.
Fenomena ini gila memang, kita berada di tengah situasi yang kerap kali tidak nyambung, situasi dimana orang bicara jauh dari apa yang dia kerjakan.
Kapan Indonesia terbebas dari malapetaka "tidak nyambung" ini?
Salam
Pagawe Desa