Banyak opini para pakar menata bagaimana baiknya Indonesia ditujukan pada Pemerintah Pusat. Tidak berlebih memang. Sebab kewenangan Pemerintah Pusat dalam membuat dan menerapkan kebijakan jauh lebih besar daripada pemerintah daerah. Tapi di sini penulis memposisikan diri penulis pada lintas jalan setapak kecil yang jarang diperhatikan. Menata Indonesia dari arus bawah. Bukan berarti penulis memposisikan diri sebagai seorang rancang bangun sebuah Negara. Bukan, penulis hanya seorang warga negara yang mencoba ikut nimbrung urung rembug bagaimana baiknya paguyuban besar bernama Indonesia itu.
Semua mafhum bahwa Negara terbentuk jika ada rakyat, wilayah, pemerintahan yang sah dan pengakuan dari bangsa lain. Pemahaman ini sudah diajarkan di bangku sekolah menengah. Khususnya matapelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada waktu itu. Entah saat ini, nama matapelajaran tersebut masih ada atau tidak penulis tidak cukup tahu. Mengingat dalam dunia ini tidak ada yang benar-benar kekal tidak mengherankan bila kebijakan kurikulum pendidikanpun sering berubah. Bongkar pasang, menghapus atau memunculkan nama matapelajaran baru walau esensinya sama bukanlah hal yang baru dan tabu.
Kembali tentang sebuah Negara. Logika sederhana yang terbangun dalam kepala penulis dalam proses terjadinya sebuah Negara adalah sebagai berikut: Ada sekumpulan orang dalam suatu wilayah. Awalnya mereka tercerai berai. Lalu,mereka kemudian berusaha saling kenal-mengenal—sebagaimana yang difirmankan oleh Allah—akhirnya mereka melihat ada kesamaan walau dalam perbedaan. Kesamaan itu membuat mereka mempunyai gagasan untuk hidup bersama dalam satu kesatuan. Kesatuan yang tercipta membutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin adalah pihak-pihak yang memerintah, pihak-pihak penggembala yang bertanggungjawab membawa kawanan “manusia” menuju cita-cita bersama. Akhirnya kawanan manusia yang telah bersatu dibawah sang Pemimpin ini mulai menunjukkan eksistensinya hingga akhirnya mendapat pengakuan dari Negara lain. Selesai, unsure satu, dua, tiga dan empat sebagai sebuah Negara terpenuhi. Dan Indonesia telah melalui fase ini. Kita patut gegap gempita mempertahankan kesatuan dalam keragaman ini.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No 21 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mana publik lebih familiar dengan sebutanotonomi daerah (otda), kini setiap daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan terkait dengan tumbuh dan kembangnya daerah itu sendiri. Jika sebelumnya pemerintahan lebih bersifat sentralistik, tetapi dengan undang-undang tersebut pemerintahan lebih desentralistik dimana daerah yaitu kabupaten/kota dan propinsi diberi wewenang secara otonom untuk mengelola daerahnya dalam beberapa bidang pemerintahan.
Otonomi daerah memberi kewenangan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki. Adanya otonomi daerah membuat setiap daerah berlomba-lomba dalam mencapai kesejahteraan bagi warga daerahnya. Telah banyak cara dan terobosan kebijakan yang ditelurkan oleh daerah-daerah. Namun ada pula daerah-daerah yang layu sebelum berkembang dengan adanya otonomi daerah ini, bisa jadi dikarenakan kegagalan suatu daerah dalam menemukan potensi dirinya. Program kebijakan yang dijalankan hanya me too product sehingga tidak sesuai dengan latar belakang budaya daerah.
Dalam kaitan otonomi daerah ini, penulis mencoba mengawinkan gagasan Public Relations (PR) dengan Pemerintah daerah. Cutlip, Center, dan Broom (2009, 5) mendefiniskan Public relations sebagai fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dan bermanfaat antara organisasi dengan public yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi tersebut. PR juga merupakan fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap public, mengidentifikasi kebijakan dan procedural individual dan organisasi yang punya kepentingan public, serta merencanakan dan melaksanakan program aksi dalam rangka mendapatkan pemahaman dan penerimaan public. Ada link match antara PR sebagai fungsi manajemen dengan pemerintah daerah yang juga menjalankan fungsi manajemen. Semoga semua sepakat untuk hal ini.
Jamak kita ketahui masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah masalah kemiskinan. Ada banyak perspektif dalam memandang kemiskinan. Dalam tulisan ini penulis menggunakan perspektif Amartya Sen (1999) dalam Development As Freedom yang menyatakan bahwa kemiskinan berkaitan dengan adanya capability deprivation. Orangmiskin seringkali tidak dapat meraih kesempatan atas informasi, pengetahuan, keterampilan, dan partisipasi dalam organisasi. Mereka juga kesulitan dalam mengakses fasilitas keuangan pada lembaga-lembaga keuangan resmi. Orang miskin lemah dalam mempengaruhi keputusan politik. Di samping itu, adanya stigma negatif terhadap orang miskin membuat mereka memiliki sikap rendah diri.
Berpijak pada temuan Amartya Sen ini dapat kita ketahui bahwa salah satu akar kemiskinan adalah akses informasi dan partisipasi warga. Akan tetapi mengajak partisipasi masyarakat, terlebih partisipasi gagasan dalam merumuskan perekonomian secara mandiri bukanlah perkara mudah. Masyarakat lebih mudah berpartisipasi tenaga dibanding partisipasi ide/gagasan. Dalam forum desa, kita akan sering mendengar pernyataan, “Bapak saja yang menyampaikan, kami ini orang bodoh nanti ikut saja”. Disinilah, pemerintah Daerah dapat memposisikan diri sebagai dan menggunakan jurus PR.
PR tidak hanya berbicara tentang pencitraan. PR adalah jembatan komunikasi antara organisasi dengan publiknya agar terjadi pemahaman dan penerimaan. Untuk itu, Pemerintah Daerah hendaknya lebih aktif untuk turun ke bawah mengadakan dan menghidupkan kembali forum rembug desa. Pemerintah daerah perlu mengajak seluruh stakeholder (swasta, NGO, masyarakat) untuk duduk bersama saling berbagi dan berdiskusi bagaimana baiknya membangun daerah. Dengan adanya rutinitas dialog diharapkan gap yang tercipta antara pemerintah dengan masyarakat dapat dikurangi dan sekaligus memperkuat ikatan emosional antara pemerintah dengan masyarakat.
PR juga menjalankan fungsi riset, penemuan fakta, mendefinisikan masalah, membuat rancang program, melaksanakan program dan mengevaluasi program. Melalui tahap manajerial ini program kebijakan yang dibuat pun benar-benar berasal dari bawah. Program yang dibuat adalah hasil forum kedua belah pihak sehingga akan lebih menyasar pada target sasarannya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah Pemerintah daerah perlu membuka diri mengajak warganya untuk mengunjungi kantor pemerintahan. Hal ini meng-copy paste apa yang dilakukan oleh perusahaan swasta dengan program factory visit-nya. Selama ini kita tahu bahwa masyarakat bawah ada rasa minder dan takut bila berhadapan dengan aparat pemerintah. Kunjungan-kunjungan dari warganya ini penting dilakukan guna mendekatkan aparat pemerintah dengan warga.
Bila pemerintah daerah sanggup memerankan dirinya sebagaimana professional PR yang handal, penulis optimis gap informasi yang menurut Amartya Sen menjadi akar kemiskinan dapat dikurangi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI