Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nyekar dan Munggahan, Dua Tradisi Jelang Ramadan yang Masih Bertahan

18 Mei 2020   14:33 Diperbarui: 18 Mei 2020   14:41 1394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh sajian botram dalam rangka munggahan.

Ziarah kubur atau yang kerap disebut nyekar adalah salah satu tradisi jelang ramadan yang telah dilakukan sejak dulu di wilayah saya tinggal.  Biasanya dilakukan satu atau dua hari sebelum ramadan tiba.  Namun jelang ramadan kemarin saya tidak menyambangi makam orang tua karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan akibat pandemi Covid-19.

Kegiatan nyekar sendiri dilakukan untuk mendoakan arwah orang-orang terkasih yang terlebih dahulu di panggil Tuhan, membersihkan makam, dan tentu saja menyekar dengan kembang yang tak sampai tujuh rupa karena yang mekar hanya bunga mawar dan melati saja.

Makam orang tua saya sendiri berada  di tanah milik keluarga besar salah satu angkatan dalam TNI dan memiliki peraturan yang jelas.  Setiap bulan ada biaya yang harus dibayar untuk merawat makam sehingga makam-makam disana selalu terlihat bersih, teratur, dan terawat.  Oleh karena itu ketika saya hanya bisa memanjatkan doa dari rumah saja, saya tak merasa khawatir akan kebersihan makam yang belum sempat ditengok.

Selain nyekar, munggahan adalah sebuah tradisi jelang ramadan yang juga kerap dilakukan. Munggahan sendiri asal katanya dari bahasa sunda 'munggah' yang artinya naik ke bulan suci ramadan yang lebih tinggi derajatnya. 

Munggahan zaman now biasanya diisi dengan acara makan-makan yang disebut botram.
Iyak, botram adalah kumpul-kumpul antar kerabat atau teman sambil makan besar. Biasanya menu nasi liwet yang menjadi andalan tapi menu nasi-nasi lainnya juga tak menutup kemungkinan. Dengan beralaskan daun pisang satu pelepah, nasi liwet dihamparkan bersama lauk-pauk pendampingnya. Para botramers pun langsung dapat menikmati sajian secara kemruyuk dengan penuh kehangatan.

Dulu, ketika saya masih kecil, botram belum menjadi tradisi seperti sekarang ini, rantangan lah yang memegang kendali.  Ya, biasanya jelang ramadan beberapa keluarga saling mengirim makanan dengan menggunakan rantang. Isinya ya suka-suka yang masak namun biasanya berupa nasi, sambel goreng kentang, tahu sambel ijo, olahan daging sapi, ayam dan telur.  Namun kini tradisi ini rupanya telah tergerus oleh kepraktisan botram dan keberadaan tupp*rware, heuheu.

Tradisi jelang ramadan lain yang kini telah hilang adalah permainan lodong.  Ya, dulu kalau sudah mendengar bunyi dentuman bersahutan dari sebuah lodong maka dapat dipastikan ramadan sudah dekat.

Lodong atau meriam bambu merupakan permainan rakyat yang dulu cukup hits di kampung saya. Keberadaan lodong yang digadang-gadang terinspirasi dari senjata tentara Portugis yang berupaya menduduki bumi pertiwi di abad ke-6 ini sempat memeriahkan ramadan di beberapa tahun kejayaannya.  Kini tradisi menyalakan lodong sudah tak ada lagi seiring habisnya lahan kosong yang dijadikan perumahan warga.  

Demikian beberapa tradisi jelang ramadan yang kerap dilakukan di kampung saya,  baik yang masih ada atau pun yang telah punah ditelan masa.   Namun apapun tradisinya bila menyangkut orang banyak atau kerumunan jangan pernah dilakukan untuk sekarang ini karena kita harus tetap menjaga jarak demi menekan penyebaran virus Corona yang berbahaya.  

Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun