Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ikut Arisan? Mengapa Tidak

18 April 2018   15:00 Diperbarui: 18 April 2018   15:13 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Jambi.Tribunnews.com

Beberapa hari lalu seorang teman menulis kalimat "Jiah, kayak ibu-ibu aja." ketika saya menjawab pesannya yang menanyakan tentang status kiriman lagu milik band barunya Melodrama apakah sudah saya dengar atau belum dengan kalimat "Sebentar, lagi arisan." Dia memang begitu anaknya, saya selalu dianggap bukan ibu-ibu olehnya, mungkin dimatanya saya ini Bapak-bapak, ah semau dia aja lah, asal jangan dianggap Pak Raden apalagi Pak Ogah, ogah ah.

Namun ia sepenuhnya tak salah karena arisan itu memang identik dengan ibu-ibu, walaupun ada beberapa arisan yang beranggotakan bapak-bapak atau perpaduan keduanya yang biasanya memiliki satu profesi seperti arisan yang dulu diselenggarakan oleh bos saya. 

Arisan ini sangat serius secara jumlah bila merujuk ke nominal yang dikumpulkannya yaitu dari puluhan hingga ratusan juta rupiah. Pembayarannya pun tidak secara tunai namun dapat berupa cek, giro atau transfer via bank mengingat jumlahnya yang lumayan besar.

Dulu saya paling males pergi arisan, ketika mendiang simbah masih ada, saya selalu mendelegasikan pertemuan arisan RT kepada beliau haha saya memang cucu yang kurang ajar. Namun mau tidak mau, saat itu pun tiba, simbah pergi untuk selamanya dan Bu RT bercuap-cuap terus bagai The Rap God, Eminem ketika bertemu dengan saya. 

Akhirnya saya pun mengibarkan bendera setengah tiang eh bendera putih, sambil bernyanyi dengan Tante Celine Dion "I surrender". Ah namun akhirnya saya sadar bahwa saya harus ikut arisan dalam rangka menghargai Bu RT yang telah bersusah payah mengumpulkan warga untuk bersilahturahmi sebulan sekali.

Selain arisan RT, saya pun mengikuti arisan yang beranggotakan ibu-ibu yang anaknya satu kelas di sekolah, bukan satu gangster ya, seperti Mara Salvatrucha, Wah Cing atau Yakuza. Berkumpul satu bulan sekali selama dua jam dengan teman-teman seperjuangan itu tak ada salahnya.

Arisan itu haram, begitu kata suami teman saya. Ia melarang istrinya mengikuti arisan dalam bentuk apapun baik uang atau barang. Arisan itu riba, begitu lanjutnya. Memang ada beberapa pendapat yang menyatakan seperti itu, tapi menurut Pak Ustad RW sebelah, asalkan niatnya bersilahturahmi  dan menghindari unsur yang menyebabkan riba ya gak masalah.  

Pada dasarnya arisan itu adalah hutang, dan riba akan muncul ketika ada tambahan manfaat atau hadiah dari hutang tersebut.  Dalam arisan, tambahan manfaatnya ada dalam acara makan-makan yang diselenggarakan ketika mengocok nomor arisan, dimana yang menang, bulan depannya harus menjamu semua peserta arisan.  

Nah kata Pak Ustad RW sebelah lagi solusi menghindari riba adalah dengan memisahkan  uang konsumsi dengan uang arisan atau akan lebih baik lagi bila makan-makannya BM saja alias bayar masing-masing.

Selain riba, arisan pun kerap dicap banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Mengapa demikian? Karena arisan acap kali menjadi ajang bergosip ria. Lidah-lidah tak bertulang mendadak menjadi setajam silet dua ribuan. 

Cerita ngalor ngidul nganan ngiri tak tentu arah, sepertinya bahan bakar para biang gosip ketika saling bersua tak ada habisnya, bagai sumber energi yang selalu terbarukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun