Mohon tunggu...
Ika NovitaSari
Ika NovitaSari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Bagi Saya berusaha dan berdo’a sama pentingnya, karena usaha tanpa do’a sombong dan do’a tanpa usaha sia-sia.

Selanjutnya

Tutup

Money

Mulai Covid-19 hingga Kasus ABK, Ekonomi Islam Bicara

15 Mei 2020   20:50 Diperbarui: 15 Mei 2020   21:03 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Menjadi bagian ekosistem kapal di hamparan laut lepas menjadi satu pilihan bagi mereka. Yang demikian semakin menyadarkan paradigma akan sisi lain kerasnya kehidupan yang tak nampak di sorot kamera. Bukan hanya bertarung dengan badai berkecamuk atau ombak yang seakan tak rela kehidupan di dalamnya direnggut, tetapi juga jiwa dan raga yang kian hari melawan untuk terlunta.

Terakhir ditengah mewabahnya virus Corona yang berhasil menurunkan kinerja berbagai sektor industri hingga melumpuhkan perekonomian Indonesia dan dunia, pemberitaan diramaikan dengan video ABK WNI yang jasadnya dilarung ke laut oleh kapal milik Cina Longxing 629. Disebutkan tiga orang meninggal ketika masih berada di atas kapal dan jenazah ketiganya dilarung ke laut. Hal tersebut dianggap melanggar perjanjian di mana abu jenazah akan dikembalikan ke keluarga (Tribunnews, 10 Mei 2020).

Berbeda dengan jenazah terinfeksi Covid 19 yang tak diterima lingkungannya lantaran takut menularkan virus yang tengah naik daun saat ini, jenazah ABK harus tenggelam di luasnya samudera dengan keadaan yang bahkan tidak lebih baik dari seekor tuna beku. Mereka dilarung tanpa perlu ritual, tanpa ada tangisan atau sekedar iringan doa. Hanya rantai besi lengkap dengan pemberat untuk memastikan jenazah mencapai dasar yang menghantar mereka menemui Sang Kuasa.

Ironi memang. Untuk kembali menyatu dengan tanah saja tidak mereka dapatkan.

Pepatah "Habis manis sepah di buang" tampaknya lebih dari pantas ditujukan pada kasus ini. Bagaimana tidak, selain perlakuan pada jenazah ABK yang disebut melanggar perjanjian, pihak kapal asing tersebut juga diduga melakukan pengeksploitasian ABK dengan perlakuan yang sama sekali tidak manusiawi, melanggar HAM yang sejatinya dimiliki manusia secara universal.

Salah satu ABK kapal ikan asing asal Indonesia yang kini sedang berlayar di perairan Afrika, Aji (Phatileyle) dalam sebuah wawancara online bersama Tim Buka Mata, Narasi Newsroom mengisahkan bagaimana perlakuan yang diterima pelaut asal Indonesia ketika berlayar. 

Aji bercerita para ABK tidak memiliki batasan waktu dalam bekerja, semakin lama bekerja semakin besar upah yang akan diterima. Jangankan sekedar untuk bersantai, melaksanakan sholat saja sudah tidak terpikirkan. Namun, upah yang masuk ke kantongnya bertolak belakang dengan tenaga yang ia keluarkan.

" Ya 4 bulan Saya Cuma dapat 2.000 Rupee setara Rp 760.000 lah. 4 bulan angkat ikan besar-besar Cuma dapat Rp 760.000. Kok gak gila itu, kerjanya mati-matian," kata Aji dalam sebuah diskusi online tersebut.

Tidak hanya itu, kehidupan diatas kapal yang jauh dari kata manusiawi dijalani para ABK, mulai dari terbiasa minum hasil sulingan air laut yang tak layak konsumsi, hingga diskriminasi oleh ABK dari negara lain terhadap ABK asal Indonesia kerap menjadi alasan sering hilangnya ABK tanpa sebab. Sengaja dibuang ke laut atau menceburkan diri sendiri ke laut lantaran depresi.

Keprihatinan semakin tertuai saat muncul keterangan dari mantan ABK tak bersurat resmi di kapal ikan berbendera asing asal Bandung, Jawa Barat, Saefudin yang menyatakan bahwa agar para ABK dapat bekerja berpuluh-puluh jam lamanya tanpa istirahat atau sekedar bersantai, kapal tempat ia bekerja kala itu mensiasatinya dengan memberikan suntik morfin (CNN Indonesia, 9 Mei 2020).

Jika muncul pertanyaan mengapa mereka memilih menjadi ABK? Mungkin hal pertama yang pasti terbesit adalah soal keadaan. Keadaan apalagi jika bukan ekonomi yang tak berpihak. Indonesia dengan luas daratan 1,905 juta km2 dan jumlah penduduk 267,7 juta jiwa sudah cukup padat bagi mereka untuk beradu nasib, sehingga pergi berlayar dengan kapal berbendera asing menjadi ABK dianggap sebagai jalan lain menuju sejahtera. Namun apadaya, jalan yang mereka pilih ternyata jauh dari harapan. Bekerja bersama orang dengan ketidakpedulian akan beragamnya perbedaan menjadikan  beban tersendiri yang harus dipikul. Kesilapan akan uang membutakan nurani seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun