Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Warga Menggugat dari Jalan

8 Februari 2019   15:40 Diperbarui: 8 Februari 2019   15:54 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Dalam satu penelitian di komunitas lokal Sulsel (tak perlu saya sebut namanya), sesepuh komunitas itu bercerita pada saya bahwa masyarakat lokal punya cara tersendiri untuk menyampaikan kritiknya terhadap penguasa. 

Katanya: "Masyarakat akan memboyong berbagai buah dari kebun, juga mengambil padi dan jaguang lantas menaburkan di jalan, perisisnya di persimpangan jalan. Tak ada kata-kata apalagi berteriak-teriak marah, tapi simbol itu sudah menunjukkan satu kemarahan luar biasa. Penguasa akan tanggap dan segera akan mengoreksi kebijakannya atau menunaikan janjinya."

Belum lama berselang kejadian yang nyaris sama terjadi tepat di kampung saya. Desa Tamaona, kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba. Memang hanya nyaris sama, sebab warga tidak menabur hasil tanaman di jalanan , tetapi mereka justru menanam pohon di tengah jalan.

Saya tidak melihat langsung peristiwa istimewa ini, saya hanya melihat foto dan beritanya bersiliweran di media sosial. Beberapa jenak saya termangu-mangu. Jalan yang ditanami berbagai pohon itu adalah jalan ke Galunglohe. Saya akrab dengan jalan itu,  dulu hanya berupa jalan tanah yang licin berair saat hujan tiba. Dulunya  juga saya senang bersepeda di tempat ini, berkunjung ke rumah famili yang ada di sana. Licinnya membuat adrenalin kanak-kanak saya memuncak.

Kini saya bukan kanak-kanak lagi, lelaki dewasa yang sudah beranjak menuju senja. Berarti sudah berpuluh tahun dan sudah berapa kali terjadi pergantian pemerintahan dari lokal sampai pusat, jalan di tempat itu tetap setia seperti semula. Tak beraspal, bahkan tak ada pengerasan dan tentu saja becek saat hujan menderas.

Seorang anak muda dari tempat itu berkomentar miris di media on line bahwa nyaris setiap Musrembang digelar perbaikan jalan di tempat itu selalu diajukan. Namun usul tinggal usul, realisasinya tidak pernah terwujud. Begitu waktu berjalan,  usul perbaikan jalan itu sirna dengan sendirinya. Ibarat asap yang pupus tertiup angin. Setiap pemilihan bupati, janji selalu pula ditabur, tapi  bupati sudah berganti beberapa kali, tak ada yang berubah dari jalan itu.

Seorang anak muda lainnya bicara kepada saya melalui telpon, katanya: "Para caleg setiap lima tahun sekali wara wiri di kampung ini, berjanji membangun kampung, tapi begitu jadi, lupa kacang pada kulitnya."

Mungkin tidak bijak menuding satu orang atau satu lembaga yang bertanggung jawab, tapi salah satu prinsip demokrasi perwakilan,  hajat hidup orang banyak memang diwakilkan ke legislatif, eksekutif dan partai politik.

Mereka dipilih oleh rakyat agar bisa mewakili kepentingan rakyat, lalu berupaya memenuhi kepentingan tersebut.  

Memang tidak mudah, tentu ada prosedur yang dilewati, tapi menunjukkan adanya political will untuk memenuhi hajat rakyat adalah satu kemestian. 

Wakil rakyat yang jentelmen pasti tidak akan bicara bahwa ini bukan kewenangan dia, bahwa prosedurnya rumit  dan seterusnya. Dia akan mengidentifikasi segala persoalan rakyat apalagi jika itu konstituennya,  mencatat kebutuhannya, membicarakan di parlemen dan mendorongnya menjadi kebijakan, bahkan mengawal hingga eksekutif mengeksekusinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun