Mohon tunggu...
Iim Imrotin
Iim Imrotin Mohon Tunggu... Guru - guru

saya seorang guru Bahasa Indonesia jenjang SMK

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru, Perlukah Kuliah (Lagi)?

23 Februari 2024   11:10 Diperbarui: 23 Februari 2024   11:15 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lulus sarjana pendidikan tahun 2007 dan baru mengambil kuliah magister di tahun 2021 adalah "jalan ninjaku". Saya tidak sedang berusaha menginspirasi Anda, namun saya akan menceritakan pengalaman panjang untuk bisa menyandang gelar magister.

Tahun 2007, ketika selesai kuliah sarjana, saya sebenarnya sangat berminat untuk melanjutkan ke jenjang S2. Apalah saya, bapak saya tukang ojek, sedang ibu adalah pembantu rumah tangga. Untuk bisa menyelesaikan S1 saja sudah penuh keprihatinan. Saya hampir tidak pernah beli jajan di kampus, sebenarnya sejak SMP juga demikian, paling makan di kos teman dengan urunan beli lauk. Ah jika ingat, terimakasih pada Ulil, Nina, Faik, dan Atik, juga teman-teman seangkatan yang tidak pernah merendahkan meski saya tidak punya uang. Mereka menerima kondisi saya, seperti apapun itu. Kembali ke niat S2 tadi. Saya memang menutup diri ketika kuliah. Istilahnya kuliah-pulang-kuliah-pulang (kupu-kupu), begitulah. Paling saya hanya berlama-lama di lantai 3 perpustakaan. Sampai semua karya sastra disana sudah saya baca. Tidak akrab dengan dosen, tidak tahu info beasiswa, juga tidak ada yang mengarahkan. Bahkan orang tua saya pernah marah melihat nilai semester 1 yang katanya 'hanya' 3.8.

Dua bulan selepas wisuda, saya belum juga mendapat pekerjaan sebagai guru. IPK cumlaude dari kampus pendidikan negeri terbaik, saya kira bisa menjadi modal yang kuat. Nyatanya tidak demikian. Beruntung salah seorang teman mengajak untuk menjadi GTT di sebuah SD negeri. Jangan bertanya tentang gaji ya, Anda pasti menangis atau tertawa terbahak-bahak. Bersyukur, tak sampai setahun, saya mengikuti seleksi CPNS untuk jenjang SMK, dan langsung diterima. Saya kemudian fokus pada tugas sebagai guru hingga kuli bangunan di sekolah. SMK kami di tahun 2009 mengalami prosesi pindahan gedung. Memulai menjalin hubungan dengan dunia industri dengan lebih luas lagi.

SMK sangat dinamis, senantiasa bergerak, lupa akan studi lanjut. Baru sekitar tahun 2015-an, teman-teman mulai banyak yang kuliah magister dengan beasiswa dari Provinsi Jawa Timur. Sayangnya lowongan untuk mata pelajaran bahasa Indonesia tidak pernaha ada. Berlanjut dengan rasa takut mendaftar LPDP. Takut perkara tes TOEFL. Bahasa Inggris jarang digunakan selain lagu-lagu, jadi bisa dipastikan tidak lulus nantinya. Begitulah rasa takut, malas belajar, belum lagi tidak ada kewajiban bagi kami untuk melanjutkan pendidikan, maka sekiah tahun saya terjebak dalam zona nyaman. Kotaknya indah.

Baru tahun 2021, saya menata tekad untuk mendaftar S2, mencari kampus yang sekiranya bisa memenuhi syarat dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) karena status sebagai PNS. Awalnya ingin ke kampus negeri. Namun, apalah daya, jadwal kuliah di hari kerja. Sedang saya harus tetap mengajar. Saya mendaftar di salah satu kampus swasta di Malang yang jadwal kuliahnya Jumat siang serta Sabtu penuh, pagi hingga malam. Pilihan inipun dengan memerhatikan akreditasi prodi yang sudah A.

Mulailah saya kuliah dengan biaya mandiri. Saya menghitung jumlah tunjangan profesi guru (TPG) yang saya terima lebih dari cukup untuk membiayai kuliah dan juga faktor usia. Melebihi ambang batas. Memang segalanya berasal dari niat. Lalu apa niat saya kuliah? Entah. Ketika awal masuk, saya tidak tahu ketika ditanya untuk apa. Saya hanya ingin mencari teman baru sembari menikmati perkembangan dunia pendidikan saat ini.

Semester berganti, tujuan saya mulai berubah. Dari sekadar mencari hiburan di luar sekolah menjadi semacam ambisi. Saya merasa tertantang untuk menyelesaikan tugas dengan hasil terbaik, bahkan melampaui batasan itu. Tidur larut malam, membaca puluhan jurnal, membeli buku, belajar bahasa Inggris. Apakah saya frustasi? Mungkin, hingga berat badan yang biasanya stabil di 55, bergeser ke 62.  Setiap tantangan saya balas dengan kesanggupan. Saya bisa melampaui batasan ini. Begitu terus hingga saya merasa kehilangan estetika kuliah. Hiburannya apa? Apakah ketika menerima email dari pengelola jurnal? Tidak.

Saya memang mencapai, bahkan melampaui ekspektasi. Sejauh ini saya baru mengenal yang namanya Sinta, Scopus, Mendeley, Elsevier, Google Scholar, ya ketika kuliah S2 ini. Saya menuliskan ide-ide, konsultasi ke dosen, lalu mengirim ke jurnal, menantinya. Benar saja, 2 jurnal Sinta 2, 1 Sinta 3, dan 1 Sinta 6. Lulus dalam tiga semester dengan IPK sempurna. Lalu untuk apa? Saya sempat merasakan blank selama sebulan setelahnya. Sulit fokus pada pekerjaan.

Akhirnya, kuliah S2 akhirnya adalah upaya pencarian makna. Pengejaran eksistensi yang kemudian berujung pada, kita semakin tidak tahu apapun. Ingin naik lagi ke Doktoral. Seorang dosen pembimbing juga mengatakan: sebelum kamu bisa mengendalikan emosi, diri, dan keinginan, maka jangan lanjut kuliah S3. Awalnya saya menentang habis-habisan, karena merasa diremehkan, saya dianggap tidak mampu mengerjakan tugas-tugas nantinya. Rehat dulu, saya katakan berulang-ulang. Bermain bersama rekan-rekan, ada yang hilang karena saya terlalu ngoyo itu. Kurang main, eh, mainnya kurang jauh!

Makanya, bapak dan ibu guru, yakinkan dulu untuk apa Anda menempuh pendidikan lanjut. Tidak salah jika ada orientasi jabatan, menambah ilmu, menjaga eksistensi diri, atau biar keren saat ditanya murid. Jangan lupa bersenang-senang, menikmati sebuah proses, serta meresapi hasilnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun