Mohon tunggu...
Ihsan Khairul
Ihsan Khairul Mohon Tunggu... Mahasiswa

mahasiswa seorang aktivis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menghidupkan kembali Silahturahmi dengan Gemaan Suara dari Pemuda ketika Sahur

5 April 2025   13:30 Diperbarui: 5 April 2025   13:18 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tradisi bangunin sahur di Jakarta merupakan bagian dari kekayaan budaya lokal yang mengakar dalam kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu. Praktik ini tidak hanya sekadar rutinitas membangunkan orang untuk makan sahur, melainkan menjadi simbol solidaritas sosial dan semangat kolektif dalam menyambut bulan suci Ramadan. Dari lorong-lorong kampung di Jakarta hingga jalan-jalan kecil yang padat permukiman, gema suara sahur dari kelompok pemuda atau anak-anak terdengar setiap dini hari sebagai pengingat akan datangnya waktu sahur. Meskipun telah banyak berubah seiring waktu, nilai-nilai gotong royong, kekeluargaan, dan nuansa keagamaan tetap menjadi inti dari tradisi ini.

Sejarah bangunin sahur di Jakarta bisa ditelusuri sejak masa kolonial, saat masyarakat Betawi masih hidup dalam struktur sosial kampung yang sangat erat. Kala itu, komunikasi dan pengingat waktu sangat terbatas; jam belum banyak dimiliki warga, dan tidak semua rumah memiliki akses ke penunjuk waktu yang akurat. Maka, peran masjid dan kelompok warga menjadi sangat vital, termasuk dalam menginformasikan waktu sahur dan imsak. Bangunin sahur dilakukan dengan cara-cara yang sederhana namun efektif---dengan memukul bedug di masjid, kentongan bambu, atau bahkan botol bekas. Anak-anak muda yang menjadi "penjaga waktu" ini biasanya berkeliling kampung sambil menyanyikan lagu atau berseru lantang, "Sahur... sahur!"

Pada awalnya, tradisi ini digerakkan oleh nilai religius dan tanggung jawab sosial. Mereka yang bertugas membangunkan sahur tidak dibayar atau diberikan imbalan apa pun. Justru ada kebanggaan tersendiri bagi para pemuda kampung yang bisa berkontribusi dalam menyemarakkan Ramadan. Mereka kerap membentuk kelompok kecil, membawa alat musik sederhana seperti rebana, galon kosong, dan kentongan kayu. Sambil berjalan kaki menyusuri gang, mereka menyuarakan seruan sahur, seringkali diselingi dengan pantun-pantun jenaka yang khas Betawi. Di sinilah terlihat keunikan budaya lokal yang membaur harmonis dengan semangat religius.

Tradisi bangunin sahur juga menjadi arena kreativitas bagi masyarakat, terutama anak-anak muda. Setiap kelompok memiliki gaya tersendiri, baik dalam memilih alat musik, irama teriakan, hingga gaya berpakaian. Ada yang mengenakan sarung dan peci, ada pula yang berdandan unik demi menarik perhatian. Selain sebagai sarana pengingat, aktivitas ini juga menjadi hiburan tersendiri bagi warga kampung. Banyak orang tua yang menunggu-nunggu bunyi bedug atau suara ramai sebagai pertanda waktu sahur telah dekat. Bahkan, beberapa keluarga sengaja tidak mengatur alarm karena sudah terbiasa bergantung pada bunyi-bunyian dari luar rumah.

Namun, seiring berkembangnya teknologi dan perubahan gaya hidup di Jakarta, tradisi ini mulai mengalami pergeseran. Masuknya jam digital, alarm di ponsel, dan pengumuman dari masjid lewat pengeras suara membuat peran manusia sebagai "alarm hidup" semakin berkurang. Ditambah lagi, perubahan tata kota dan pertumbuhan permukiman padat membuat sebagian warga merasa terganggu dengan kebisingan yang ditimbulkan oleh rombongan bangunin sahur. Tak jarang muncul keluhan dari masyarakat urban yang menganggap tradisi ini sudah tidak relevan dan justru mengganggu ketenangan, terutama ketika dilakukan dengan suara yang berlebihan atau menggunakan knalpot motor yang bising.

Meski begitu, tidak semua masyarakat Jakarta menganggap tradisi ini sebagai gangguan. Di banyak kampung yang masih mempertahankan nilai-nilai kekeluargaan, bangunin sahur tetap dilestarikan dan bahkan difasilitasi oleh ketua RT atau pengurus masjid setempat. Beberapa wilayah menjadikannya sebagai bagian dari program Ramadan tahunan, bahkan mengadakan lomba kelompok bangunin sahur dengan penilaian dari segi kekompakan, kreativitas, dan kesopanan. Tradisi ini dianggap penting karena mampu mempererat hubungan antarwarga, menghidupkan suasana kampung, dan memberikan nuansa khas yang hanya muncul selama Ramadan.

Uniknya, di era media sosial, tradisi bangunin sahur di Jakarta kembali mendapatkan perhatian publik, terutama dari kalangan muda. Banyak video yang menunjukkan aksi kelompok bangunin sahur menjadi viral karena dianggap lucu, kreatif, atau mengandung pesan moral. Beberapa komunitas bahkan mengemas kegiatan ini dalam bentuk edukatif, seperti menyisipkan pesan-pesan keagamaan, ajakan untuk berbagi, atau menyuarakan solidaritas sosial di tengah tantangan kota besar. Fenomena ini membuktikan bahwa tradisi lokal tidak harus mati di tengah arus modernisasi; ia justru bisa berkembang dan beradaptasi dengan zaman.

Di sisi lain, muncul pula perdebatan seputar regulasi dan etika dalam menjalankan tradisi ini. Pemerintah kota Jakarta dan aparat keamanan kerap mengimbau warga agar tidak melakukan kegiatan yang berpotensi menimbulkan gangguan. Ketegangan antara pelestarian budaya dan kenyamanan publik menjadi isu yang cukup sensitif, terutama di kawasan perumahan yang heterogen. Oleh karena itu, perlu adanya dialog antara masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah lokal untuk mencari titik tengah. Tradisi bangunin sahur harus tetap dilestarikan, namun dengan pendekatan yang bijak dan penuh pertimbangan terhadap konteks sosial yang terus berubah.

Pada akhirnya, sejarah bangunin sahur di Jakarta mencerminkan dinamika masyarakat urban yang terus berproses antara mempertahankan akar tradisi dan beradaptasi dengan modernitas. Ia bukan sekadar kegiatan membangunkan orang untuk sahur, melainkan bagian dari narasi budaya kota yang kaya akan simbol, suara, dan semangat kebersamaan. Tradisi ini menunjukkan bahwa di tengah hiruk-pikuk ibu kota, masih ada ruang untuk praktik kolektif yang penuh nilai dan makna. Selama dilaksanakan dengan semangat positif, bangunin sahur akan terus menjadi bagian dari memori kolektif warga Jakarta---sebuah warisan Ramadan yang tak hanya terdengar, tapi juga dirasakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun