Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Refleksi Kebangkitan Nasional

20 Mei 2017   07:43 Diperbarui: 20 Mei 2017   18:51 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semua orang di Indonesia tahu kalau 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional karena pada hari itu tahun 1908 berdirilah Boedi Oetomo yang dianggap sebagai organisasi berhaluan kebangsaan yang pertama di Indonesia. Namun seberapa jauhkah kita mengenal Boedi Oetomo ? Dan yang lebih penting lagi, seberapa jauhkan kita mengenal sejarah kebangsaan Indonesia ?

Pencarian di internet tentang Boedi Oetomo saat ini hanya menghasilkan banyak situs, namun apabila ditelisik lebih dalam sebenarnya hanya ada 2 atau 3 tulisan mengenai Boedi Oetomo. Semuanya setuju kalau tanggal 20 Mei adalah sekedar diskusi penggagasan organisasi sosial Boedi Oetomo, dan bukan hari terbitnya akte pendirian organisasi tersebut, Lebih jauh tidak ada keterangan apabila organisasi tersebut memang didirikan dengan sebuah akte resmi. Yang menarik juga adalah miskinnya informasi tentang apa yang terjadi dengan Boedi Oetomo. Yang lebih menarik lagi, informasi di internet, seperti halnya materi pelajaran sejarah, memotert organisasi tersebut dan perkembangan gerakan nasionalisme yang mengikutinya sebagai sesuatu yang nyaris tanpa cacat. Setidaknya menurut sudut pandang Indonesia.

***

Oliver Cromwell, satu-satunya kepala negara Inggris yang tidak berdarah biru, pernah meminta agar lukisan potret dirinya menggambarkan dia apa adanya, "warts and all". Meskipun Cromwell adalah tokoh kontroversial -- jenazahnya digali dari makammnya untuk kemudian dipancung dan kemudian diperlakukan sebagai mush negara -- tradisi ini tampaknay melekat kuat dalam kalangan sejarahwan di Inggris. Materi sejarah yang disuguhkan untuk anak SD pun seringkali memotret sisi baik dan buruk peristiwa ataupun tokoh sejarah. Sebagai contoh, Issac Newton yang nota bene adalah salah satu putera terbaik Inggris diperkenalkan sebagai orang yang jenius namun tidak mau kalah pendendam sampai-sampai saat ini tak seorangpun tahu wajah Robert Hooke sang penemu sel karena semua lukisannya dihancurkan oleh Newton sebagai balas dendam.

***

Kembali ke pergerakan nasional Indonesia, apakah kita memiliki gambaran yang jelas ? Apakah motivasi para pelaku pergerakan nasional ? Benarkah motivasi mereka sepenuhnya positif ? Secara pribadi, saya rasa inilah kelemahan generasi Indonesia saat ini untuk menarik pelajaran dari sejarah. Lebih tepat lagi sifat ini sebenarnya juga dapat ditemui di kalangan orang Asia (di Inggris berkonotasi India, Pakistan), Oriental (di Inggris: Asia timur termasuk Indonesia) dan Afrika.

Kalau kita melihat latar belakang pelajar STOVIA dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, maka akan terlihat dengan jelas bahwa mereka semua datang dari kalangan mapan kelas menengah. Pendidikan yang mereka dapat sebagian besar tumbuh dari politik etis yang dilahirkan oleh sosialisme yang melanda Eropa di penghujung abad ke 18. Saat itu penjajahan hanyalah sekedar kekayaan dan prestige kekuasaan seperti tertuang dengan jelas di dalam buku Max Havelaar. Hal ini hanya menguntungkan kaum kapitalis.Namun paa kapitalis kemudain mulai berpikir romantis untuk mengembangkan pengethauan.  Contohnya adalah hasrat romantisme seperti yang ditunjukan oleh Gubernur Jendral Inggris Raffles ketika menulis buku sejarah Jawa dan memimpin operasi pencarian Borobudur. Sosialisme tumbuh dari pemikiran romantisme kelas menengah (akademis dan rohaniwan) untuk mewujudakn pemerataan di Eropa yang kemudain berkembang ke negara jajahan. Douwes Dekker (Multatuli) yang menciptakan tokoh Max Havelaar jelas mewakili kelompok ini. Walaupun agak ditutupi dalam materi sejarah Indoensia, STOVIA dibentuk sepenuhnya karena politik etis.

Tidak perlu diragukan kalau semua pejuang kebangkitan nasional memang berhasrat memajukan Indonesia (pribumi -- akan saya bahas lagi dibwah). Namun kita harus mengenali bahwa manusia jarang sekali bekerja tanpa pamrih. Saya cenderung setuju dengan analisis Nial Ferguson tentang motivasi dibalik kebangakitan nasional India di periode yang sama yaitu krisis identitas kalangan kelas menengah yang terdidik. Di satu pihak pendidikan yang cukup tinggi membuat mereka tida layak untuk berpartsipasi sebagai buruh tani tradisional namun di lain pihak pemerintah kolonial masih mendatangkan tenaga profesional dari Eropa. Motivasi individual ini bukanlah hal yang jelek karena sebuah bangsa adalah kumpulan komunitas dan komunitas adalah kumpulan individual. Namun hal ini menunjukan bahwa para pahlawan bukanlah orang suci. Yang menarik untuk disimak adalah dalam struktur tenaga profesional pun terdapat hirarki yang bersifat agak feodal. Dalam dunia kesehatan seorang dokter mempunyai posisi sosial yang lebih tinggi daripada seorang perawat. Sejarah mencatat bahwa Dokter Soetomo menikahi seorang gadis Belanda yang berprofesi juru rawat. Saya tidak bermasud membuat inuendo. Saya sekedartidak  tahu apa yang ada di balik pernikahan ini. Akan lebih baik apabila hal seperti ini dipakai sebagai bahan diskursus bagi pelajaran sejarah di tingkat sekolah menengah. Yang harus diakui adalah cukup banyak anggota kelompok elit politik di Indonesia memiliki hubungan darah dengan para pahlawan masa lalu. Pencitraan yang kelewat positf dengan para pahlawan menjadi pnghalang untuk dapat menilai elit politik Indonesia saat ini. Sosok Jusuf Kala adalah contoh relevan karena sebagai bukan pahlwana nasional yang dihidup di era pers yang relatif bebas beliau muncul sebagai pribadi yang utuh, baik kelebihan dan kekuranganya saat ini muncul di berbagai media.

Sisi positif dari pendekatan sejarah yang berat sebelah di Indonesia tentu saja menanamkan nasionalisme, walaupun mungkin hanya bersifat semu. Baru-baru ini saya berdiskusi dengan teman tentang bagaimana mengisi kolom "Ethnicity" dalam formulir resmi di Inggris. Saya secara konsisten selalu memilih "Other" dengan penjelasan spesifik "Indonesian". Mengapa ? Karena saya menerima konsep kebangsaan Indonesia,meskipun ini adalah etnik buatan sikap politik. Sebagai campuran Cina dan Pribumi, saya mungkin bisa memeilih "Chinese" atau "Malay", tetapi semua teman Cina saya di Inggris selalu menyebut saya Ini-Ren (orang Indonesia). Maka jelaslah bahwa untuk orang Oriental etnisitas saya adalah Indonesia. Dan etnisitas ini tidak akan hilang meskipun kewarganegraan seorang berubah. Walaupun sejak sekolah saya tidak percaya dengan potret yang 100% positif, perasaan ini terpukul cukup telak ketika Mei 1998 terjadi, begitupun ketika vonis kasus Ahok dijatuhkan baru-baru ini.

Ketika membaca artikel Boedi Oetomo di Wikipedia kemarin, saya teringat lagi kalau di masa sekolah saya sering tidak merasa pas dengan pendekatan pelajaran sejarah. Di situ ditulis kalau Boedi Oetomo bertujuan membantu pribumi... berbau agak rasis bagi orang yang kebetulan bukan pribumi. Dan ini jelas ditulis sebagai hal positif! Terus terang, sahabat Brunei saya pernah menjelaskan kalau di Brunei, kata Bumiputera dipakai untuk orang Melayu, yang notabene migrasi dari semenanjung Melayu di abad ke-19 untuk mendirikan kesultanan Brunei. Istilah orang asli dipakai untuk orang Dayak yang sudah menempati tanah tersebut sebelum migrasi dari semenanjung terjadi. Artinya nasionalisme itu sendiri memang selalu menguntugkan sekelompok orang namun merugikan orang lain. Ada dua kejadian baru-baru ini yang layak untuk direnungkan:

  •  Vonis Ahok. Terus terang saya kecewa dengan vonis ini sehingga sepakat bersama teman-teman untuk membuat malam lilin di kota kecil tempat kami tinggal di Inggris. Namun dengan tidak berburuk sangka kepada majelis hakim, saya bisa melihat bahwa keputusan tersebut dibuat dengan pertimbangan polituk untuk menjaga Indonesia sebagai sebuat nasion. Perhitungannya jelas, kelompok yang perlu dihibur memang berpotensi untuk melakukan kegiatan yang merongrong helai rajutan kebangsaan Indonesia.
  • Nasionalisme di AS yang memilih Donald Trump yang menjanjikan untuk memberi prioritas bagi rakyat AS. Di sini Indonesia yang terbiasa melihat nasionalisme dari sisi dalam terpaksa harus melihat sisi jelek nasionalisme. Sudah sejak sekolah saya terlalu tertarik bagaimana rasanay menjadi orang Eropa yang harus melihat dituduh bersalah oleh para nasionalis dari Asia dan Afrika.

Sebagai negara yang sudah beridiri cukup lama, saya rasa sudah saatnyalah kita melihat kebangkitan nasionalisme dari sudut pandang yang lebih untuh. Hal ini sangat penting apabila kita memang masih percaya akan konsep kebangsaan Indoensia yang dibangun spenuhnya atas dasar kontrak sosial untuk melahirkan etnis baru yang bernama Indonesia .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun