Dalam sebuah diskusi dengan rekan-rekan dari Itali, Prancis dan Aljazair di kampus mengenai Brexit, saya tiba-tiba teringat pada Kontrak Sosial yang ditulis oleh Rousseau di abad ke 18. Di situ Rousseau berargumen dalam sebuah negara selalu terdapat dua komponen: rakyat sebagai sumber kedaulatan di suatu wilayah dan pemerintah yang menjalankan kedaulatan demi rakyat. Kedua pihak terikat dalam sebuah kontrak sosial yang menjadi dasar bernegara. Kontrak ini dapat dihapus oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan apabila timbuk ketidak percayaan terhadap pemerintah
Adalah sebuah keniscayaan kalau makin besar jumlah rakyat dan luas wilayah, makin besar keragaman yang terlihat. Artinya pemerintah memiliki tugas penting untuk menata wilayah tersebut sehingga rakyat dapat merasakan manfaat yang sebesar-besarnya. Dalam konteks ekonomi, pemerintah bertugas mendistribusikan surplus dari satu daerah ke daerah lain yang lebih minus. Yang menjadi pertanyaan dimanakah batas kontrak sosial ini. Haruskah ini terbatas pada negara ? Mengapa bukan pada unit yang lebih kecil (provinsi, misalnya) atau yang lebih besar ?
Konteks Uni Eropa
Para elit di Uni Eropa jelas melihat bahwa kontrak sosial melintasi batas wilayah ke 28 (sebentr lagi 27) negara anggota. Namun kontrak sosial ini seringkali dibuat melalui jalan belakang. Sejak didirikan di tahun 1991, UE secara berangsur-angsur mengambil alih kontrak sosial yang sudah terbentuk di tiap negara anggota. Mengapa jalan belakang ? Karena proses transformasi kedaultan dari tangan pemerintah ini dilakukan tanpa konsultasi. Sebagian orang memang tidak keberatan dengan hal ini. Namun di Inggris hal ini menjadi masalah besar sejak Maggie Thatcher menyatakan keberatannya terhadap traktat Masstrich yang mengakhiri era kepemimpinan beliau. Referendum, sebagai proses untuk mendapatkan persetujuan dari pemilik kedaulatan (rakyat) dan elit pemerintah selalu menjadi isu.
Kaum elit UE merasa lebih tahu daripada rakayat jelata : persatuan benua Eropa adalah hal penting bagi masa depan benua tersebut karena akan mencegah perpecahan masa lalu yang telah memporak-porandakan Eropa  di dua perang dunia. Pandangan ini memang benar, namun haruskah tujuan ini dicapai dengan mengabaikan rakyat ? Perbedaan sosial ekonomi dan budaya di Eropa sebenarnya cukup besar, ditambah lagi dengan sejarah panjang Eropa, sebagian besar rakyat tidak akan serta merta mengikuti kemauan elit untuk mentransfer kedaulatan. Buktinya ketika UE menkonsolidasi diri sebagai dengan merumuskan konsitusi, referendum yang dilakukan di Prancis, Denmark dan Irlandia harus dilakukan berulang kali. Di ketiga negara tersebut referndum pertama menghasilkan penolakan. Penolakan ini mendorong modifikasi terhadap konstitusi awal di sekitar tahun 2004/2006. Elit UE tidak menerima penolakan rakyat dengan mudah. Sejak saat itu semua elit UE enggan untuk melakukan referendum karena dapat dipastikan kalau rakyat mereka akan menolak kontrak sosial yang ditawarkan.
Pemerintah Inggris menggunakan alasan bahwa modifickasi terhadap konsitusi yang kemudian menjadi trakata Lisbon tidak mengandung perubahan kontrak sosial. Hal ini menimbulkan ketidak puasan mengingat rakyat sudah menuntut rerferendum sejak jatuhnya Thatcher. Tidaklah mengherankan apabila referndum 2016 yang telah lama diharapkan dipakai oleh cukup banyak orang untuk melampiaskan ketidak puasan mereka terhadap kontrak sosial yang ditawarkan... Hal ini juga ditangkap oleh pemimpin Eropa lainya. Jangan harap pemerintah Prancis, Belanda, dan negara-negara Skandinavia berani untuk mengadakan referendum. Kita semua bisa menebak apa yang akan terjadi, mengingat isu imigrasi yang tak terkontrtol akan menjadi motivasi tambahan. Tabel di penghujung artikel BBC (EU Referendum: Did the polls all get it wrong again?) menunujkan 53% pemilih Brexit dimotivasi oleh kontrak sosial dan 34% oleh imigrasi.
Tidak mengherankan apabila reaksi pertama para politi UE adalah menjadikan Inggris sebagai contoh anak nakal
Penutup
Menarik untuk menarik parallel dengan Indonesia...Â