Mohon tunggu...
IFTITAH HISANAH SHABRI
IFTITAH HISANAH SHABRI Mohon Tunggu... mahasiswa, calon orang sukses

seorang mahasiswi ekonomi. aku berharap bisa berbagi perspektifku dan juga belajar dari kalian semua. jangan ragu untuk meninggalkan komentar atau bertanya apapun, aku akan dengan senang hati menjawabnya.

Selanjutnya

Tutup

Film

Pelajaran dari Film "The New Rulers of the World" oleh John Pilger

26 Maret 2025   02:20 Diperbarui: 26 Maret 2025   00:47 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

The New Rulers of the World bukan sekadar dokumenter, tetapi sebuah tamparan keras bagi mereka yang masih percaya bahwa globalisasi adalah jawaban atas kemiskinan. Di film yang rilis tahun 2001 ini, John Pilger dengan tajam membongkar bagaimana korporasi raksasa, IMF, dan Bank Dunia mengendalikan dunia dengan dalih pembangunan, sementara jutaan orang di negara berkembang, termasuk Indonesia, terjebak dalam jeratan eksploitasi.

Globalisasi sering digembar-gemborkan sebagai kunci kesejahteraan. Namun, siapa sebenarnya yang sejahtera? Di film ini John Pilger membongkar realitas pahit: negara berkembang seperti Indonesia hanya dijadikan sapi perah. Tenaga kerja murah dieksploitasi, sumber alam dikeruk, sementara keuntungan mengalir deras ke kantong pemodal asing dan segelintir elit lokal.

Hari ini, kita bisa melihat bagaimana ketimpangan ekonomi terus terjadi. Lihatlah kondisi buruh pabrik garmen dan elektronik di Jawa. Mereka bekerja 12 jam sehari, upahnya tak cukup untuk hidup layak, sementara produk mereka dijual dengan harga premium di Eropa dan Amerika. Atau petani yang terusir dari lahannya karena perusahaan tambang asing mendapat izin mengeruk emas dan batubara. Ini bukan pembangunan, ini gaya baru dari penjajahan.

Indonesia menjadi bukti nyata dari kolonialisme modern yang dikemas rapi dalam istilah 'investasi' dan 'pertumbuhan ekonomi'. Setelah kudeta militer yang membawa Soeharto berkuasa pada 1965, rezim Orde Baru mengubah negeri ini menjadi surga bagi korporasi multinasional. Buruh dipaksa kerja keras dengan upah rendah, sementara sumber daya alam dijual murah. John Pilger menunjukkan bagaimana pabrik-pabrik GAP dan Adidas mempekerjakan anak-anak dengan upah tak manusiawi, sementara para bosnya meraup miliaran dolar.

Ironisnya, hingga saat ini, pola yang sama masih berulang. Lihat saja bagaimana kasus buruh pabrik di sektor garmen dan elektronik yang tetap mendapatkan upah rendah meskipun produk mereka dijual dengan harga tinggi di luar negeri. Isu ketimpangan ini semakin mencolok dengan munculnya praktik-praktik outsourcing dan kontrak kerja yang tidak berpihak pada kesejahteraan pekerja. Selain itu, banyak buruh perempuan di sektor garmen menghadapi pelecehan dan diskriminasi di tempat kerja. Beberapa laporan mengungkapkan bahwa buruh perempuan sering kali mengalami pelecehan verbal hingga pelecehan fisik dari atasan mereka, terutama dalam lingkungan kerja yang minim perlindungan. Bentuk pelecehan yang dilaporkan antara lain pesan singkat yang merendahkan, ajakan kencan dengan ancaman pemutusan kontrak jika ditolak, serta tindakan fisik seperti dicolek atau diraba dengan alasan memperbaiki mesin. Di berbagai pabrik di Jawa Tengah, banyak buruh perempuan yang dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi dengan ancaman pemutusan kontrak jika mereka melaporkan pelecehan yang terjadi.

Krisis 1998 menjadi bukti nyata betapa kebijakan IMF justru menghancurkan rakyat kecil. Indonesia dipaksa menjual BUMN, mencabut subsidi, dan memangkas anggaran sosial, semua demi melunasi utang kepada kreditor asing. Hasilnya? PHK massal, harga sembako melambung, dan kemiskinan merajalela. Soeharto juga menutup 16 bank pada 1997 untuk memenuhi tuntutan IMF, yang malah memperparah kepanikan ekonomi. Privatisasi dan deregulasi semakin memperkaya elite, sementara rakyat terjerumus dalam kesulitan. Pola serupa masih terjadi hingga kini di berbagai negara yang menerima 'bantuan' IMF, di mana rakyat harus menanggung beban utang yang bukan mereka buat.

Bahkan hingga hari ini, kita masih menyaksikan bagaimana kebijakan-kebijakan ekonomi yang didorong oleh lembaga internasional ini semakin menyudutkan kelompok masyarakat bawah. Contohnya adalah kenaikan harga bahan pokok dan energi yang dikaitkan dengan kebijakan pencabutan subsidi, yang membuat beban ekonomi rakyat semakin berat.

Dari kenaikan BBM hingga impor pangan yang mematikan petani lokal, jejak kolonialisme ekonomi masih jelas terlihat. Perusahaan asing menguasai tambang, sawit, bahkan data digital kita. Buruh tetap diperas, sementara oligarki lokal dan asing berkolaborasi mempertahankan status quo. 

Film ini mengajukan pertanyaan: apakah kita hidup di dunia yang benar-benar bebas dan adil? Ataukah kita hanya menjadi bidak dalam permainan besar para penguasa ekonomi global? John Pilger tidak menawarkan solusi instan, tetapi ia menyalakan api kesadaran. Setelah menonton dokumenter ini, bisakah kita masih diam dan menerima ketidakadilan ini sebagai sesuatu yang wajar?

Film ini bukan sekadar kritik ini adalah seruan untuk membuka mata. Sebab selama kita masih percaya bahwa ketimpangan adalah harga yang harus dibayar untuk "pembangunan", selama itu pula penjajahan akan terus berlangsung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun