Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlindungan Hukum Bagi Guru

14 Juni 2013   08:19 Diperbarui: 5 September 2017   07:07 8106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti biasa, setelah pembelajaran selesai, guru olah raga sebut saja namanya Pak Sugara mengecek siswanya satu per satu. Siswa yang namanya dipanggil mengacungkan tangan. Hingga suatu saat dia memanggil nama seorang siswa anggaplah namanya Panji, tapi tidak mengacungkan tangan. Guru tersebut kemudian bertanya kepada teman-temannya, kemana Panji? Apakah ada yang melihatnya? Bukankah dia tadi bersama dengan siswa-siswa yang lainnya belajar renang. Tapi teman-temannya tidak ada yang tahu. Guru tersebut mulai gusar dan mencari siswa tersebut. Setelah lama mencari alangkah terkejutnya, ketika Panji ditemukan sudah menjadi mayat di dasar kolam renang.

 

Suasana pun sontak berubah menjadi riuh. Dengan tergesa-gesa, guru dibantu oleh beberapa orang mengangkat jasad siswa tersebut. Melihat kenyataan Panji sudah tidak bernyawa, semua histeris, menangis, termasuk gurunya. Dengan tergesa-gesa, guru olah raga tersebut menelepon Kepala Sekolah dan mengatakan bahwa telah terjadi musibah dimana salah satu siswanya meninggal tenggelam di kolam renang pada saat pelajaran berenang. Mendengar kejadian tersebut, pihak sekolah segera menghubungi orang tua siswa dan menyampaikan bahwa anaknya telah meninggal dunia.

 

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah perumpamaan bagi guru olah raga yang kebetulan statusnya masih honorer tersebut. Di satu sisi dia bersedih karena salah satu anak didiknya tewas pada saat belajar renang, dan di sisi lain dia dituntut oleh keluarga korban untuk bertanggung jawab. Keluarga korban melapor kepada polisi. Mereka menuduh guru tersebut lalai dalam mengawasi anak didiknya sehingga megakibatkan anak didiknya ada yang tewas saat belajar renang. Dalam keadaan bersedih, guru tersebut digelandang ke kantor polisi. Malam itu dia terpaksa menginap di tahanan.

 

Melihat kondisi seperti itu, pihak keluarga pelaku dan sekolah dimediasi oleh polisi berupaya untuk menyelesaikan secara damai (kekeluargaan) dengan pihak keluarga korban. Awalnya keluarga korban bersikukuh guru tersebut harus diproses secara hukum karena telah teledor memperhatikan anak didiknya, tetapi setelah dialog yang alot akhirnya keluarga korban mau “berdamai” dengan pelaku (baca = guru) tetapi dengan syarat pelaku memberikan sejumlah uang damai, dan jumlahnya besar. Akhirnya, perdamaian disepakati, dan pihak pelaku memberikan uang damai kepada keluarga korban.

 

Jika kita membaca kasus tersebut di luar perspektif hukum, menurut penulis kasus tersebut lebih tepat disebut musibah baik bagi guru maupun bagi keluarga korban daripada disebut tindak pidana. Oleh karena itu, penyelesaian kasus tersebut dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan akan jauh lebih baik dibandingkan dengan proses hukum. Anggaplah guru tersebut lalai karena kurang memperhatikan anak didiknya sehingga menyebabkan kematian, tapi penulis yakin bahwa tidak ada guru yang ingin mencelakakan anak didiknya. Dan ketika ada yang terjerat kasus hukum, perlindungan hukum terhadap guru sangat lemah. Advokasi dari organsasi guru pun bisa dikatakan belum optimal.

 

Kita sering membaca berita guru dilaporkan kepada polisi karena dituduh melakukan tindakan kriminal dalam menjalankan tugasnya. Penulis sepakat, guru bukan malaikat, bisa saja melakukan pelanggaran hukum. Jika memang benar melakukan tindakan kriminal harus dihukum. Tetapi dalam konteks kasus tersebut di atas, baik guru maupun keluarga korban sebenarnya sama-sama berduka karena ditinggal oleh orang yang dicintainya.

 

Indonesia adalah negara hukum, tetapi bukan berarti setiap masalah harus selalu diselesaikan secara hukum jika masih bisa diupayakan penyelesaian secara damai (kekeluargaan). Tapi, maksud damai di situ bukan berarti diselesaikan dengan cara pelaku memberikan “uang damai” kepada korban yang jumlahnya sampai jutaan karena akan membentuk budaya yang kurang baik, yaitu budaya transaksional. Apalagi menimpa kepada seorang guru honorer yang penghasilannya juga sangat minim. Hal tersebut tentunya akan sangat memberatkan guru tersebut.

 

Perlindungan hukum terhadap guru diakui memang masih lemah. Ketika guru terkena masalah hukum khususnya yang berkaitan dengan tugasnya sebagai guru dia seolah harus berjuang sendiri. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 7 ayat (1) huruf h mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Selanjutnya pada pasal 39 secara rinci dinyatakan:

 

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.

 

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

 

(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun