Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajar Menggunakan Sepeda Motor ke Sekolah, Siapa Salah?

2 Agustus 2016   07:04 Diperbarui: 2 Agustus 2016   07:40 3512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: antaranews.com

Oleh:

IDRIS APANDI

Saat ini sepeda motor saat ini telah menjadi sarana transportasi andalan berbagai kalangan karena dinilai lebih ekonomis dan anti macet. Karena efektifnya sarana trasportasi tersebut, disamping ada tukang ojek konvensional, di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung saat ini marak usaha ojek berbasis aplikasi atau disebut juga ojek onlinesebagai cara efektif menembus kemacetan kota yang parah.

Pelajar pun merupakan salah satu kalangan yang memanfaatkan sepeda motor untuk pergi ke sekolah. Mereka meminta bahkan memaksa kepada orang tuanya agar membelikan sepeda motor. Disamping sebagai sarana transportasi ke sekolah, sepeda motor juga sebagai sarana eksistensi dan aktualisasi dirinya di hadapan teman-temannya.

Semakin bagus dan semakin mahal sepeda motor yang dimilikinya, maka gengsinya pun akan semakin meningkat, apalagi dicontohkan oleh sinetron Anak Jalanan yang saat ini banyak digandrungi oleh anak-muda. Mereka mencontohkan pergi dan pulang sekolah dengan mengendarai sepeda motor, dibumbui dengan adegan perkelahian dan adegan pecaran menggunakan seragam sekolah. Sinetron tersebut seolah menjadi pembenaran bagi pelajar untuk mengendarai sepeda motor ke sekolah.

Walau tahu salah dan melanggar aturan, orang tua akhirnya memberikan sepeda motor kepada anaknya karena “rasa sayang” kepada anaknya tersebut. Daripada anaknya mogok dan ngambek tidak mau sekolah, akhirnya orang tua menuruti kemauan sang anak.

Penggunaan sepeda motor oleh pelajar ke sekolah menyebabkan beberapa dampak negatif. Pertama,melanggar aturan, karena undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada pasal 81 ayat (2) huruf (a) disebutkan bahwa syarat usia paling rendah seseorang memiliki SIM C (sepeda motor) adalah 17 tahun, sementara pelajar banyak yang belum berusia 17 tahun, belum lagi mereka banyak yang suka tidak menggunakan helm.

Kedua, meningkatnya resiko kecelakaan di jalan raya, karena pelajar yang mengendarai sepeda motor kadang tidak disertai dengan pemahamannya terhadap rambu-rambu lalu lintas dan perhitungan yang matang. Akibatnya, banyak terjadi kecelakaan.

Ketiga,secara psikologis, pelajar yang mengendarai sepeda motor cenderung ingin memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi alias ngebut di jalanan, kurang hati-hati, dan arogan. Bagi mereka, jalan raya seperti lintasan balap yang digunakan untuk track-track-an bersama teman-temanya.

Keempat, menurunnya produktivitas. Kepemilikan sepeda motor membuat anak muda di desa-desa lebih memilih nongkrong dengan komunitas motornya atau jalan-jalan sama pacarnya daripada membantu orang tuanya. Mereka enak mengendarai motor kemana saja mereka mau, sementara orang tuanya pusing memikirkan cicilan kredit motor setiap bulannya. Dengan kata lain, sepeda motor telah melalaikan mereka dari berbakti kepada orang tua.

Kelima,pemborosan. Supaya sepeda motornya lebih gaul, lebih keren, kekinian, dan tampil beda, mereka pun memodifikasinya, mem-paint brushbody sepeda motornya. Memodifikasi sepeda motor tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pelajar yang belum memiliki penghasilan tentunya akan meminta uang kepada orang tuanya, dan akibatnya bertambah lagi beban orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun