Refleksi Pendidikan Indonesia 2020 dan Harapan 2021:
ADAPTASI DAN INOVASI SEKTOR EDUKASI DI TENGAH PANDEMI
Oleh: IDRIS APANDI
(Anggota Dewan Pendidikan Provinsi  Jawa  Barat Masa Jabatan 2019-2024)
Â
Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia sejak awal Maret 2020 hingga saat ini berdampak terhadap berbagai bidang, termasuk dunia pendidikan. Menurut saya, ada dua kebijakan Mendikbud yang monumental sebagai respon terhadap dampak pandemi tersebut. Pertama, dibatalkannya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2020 yang rencananya akan menjadi UN terakhir karena tahun 2021 akan diganti dengan Asesmen Nasional (AN). Lulusan sekolah tahun 2020 menjadi lulusan yang "spesial" karena lulus tanpa mengikuti UN. Ada yang menyebutnya sebagai "lulusan Covid-19".
Kedua, ditutupnya sekolah untuk kegiatan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dan diganti dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau Belajar dari Rumah (BDR). Ada tiga alternatif yang digunakan, yaitu moda daring (dalam jaringan/online), moda luring (luar jaringan/offline), dan moda kombinasi daring dan luring (blended). Ketiga moda tersebut digunakan sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan guru.
Kebijakan lainnya antara lain tidak diwajibkannya guru untuk mencapai semua target kurikulum, tidak diwajibkannya guru memenuhi jam tatap muka sebanyak 24 jam, sekolah diberikan pilihan untuk menggunakan atau mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah, relaksasi dana BOS, dan subsidi kuota internet bagi guru dan peserta didik untuk menunjang pembelajaran secara daring.
Pelaksanaan PJJ diwarnai dengan berbagai tantangan. Mulai dari masalah sarana dan prasarana (smartphone/laotop), terbatasnya sinyal internet, hingga beban kuota internet yang harus ditanggung oleh orang tua peserta didik. Selain itu, ada kendala terkait kesiapan SDM guru dalam beradaptasi dengan PJJ, khususnya dalam penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai pendukung PJJ moda daring. Awalnya banyak guru yang mengalami kesulitan, tetapi setelah beberapa bulan, mereka sudah banyak yang bisa beradaptasi dengan menguasai berbagai aplikasi video conference (vicon) seperti Zoom, Webex, Google Meet, dan Microsoft Teams. Mereka juga menguasai Learning Management System (LMS) seperti Google Form, Google Classroom, dan berbagai aplikasi lainnya. Dengan kata lain, ada hikmah di balik musibah, yaitu para guru banyak yang mau belajar TIK untuk menujang PJJ daring melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, organisasi profesi guru, LSM, komunitas, atau melakukannya secara otodidak.
Bagi peserta didik yang tidak bisa mengikuti pembelajaran secara daring, maka guru melakukan pembelajaran secara luring, seperti memanfaatkan TVRI, RRI, buku, modul, dan guru kunjung. Hal tersebut banyak terjadi di daerah yang akses internetnya terbatas dan daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Pada saat kegiatan guru kunjung, guru harus menempuh jarak hingga belasan hingga puuhan kilometer menuju tempat tinggal peserta didiknya. Ditambah medan yang cukup berat, seperti jalan yang rusak, masuk hutan atau perkebunan yang bisa membahayakan dirinya. Belum lagi jarak tempat peserta didik yang satu dengan yang lainnya berjauhan.
PJJ yang terlalu lama menyebabkan kebosanan pada orang tua, Â peserta didik, dan juga pada guru-guru. Ada orang tua yang curhat bahwa mereka mengalami kesulitan menjadi "guru dadakan" bagi anaknya, sadar terhadap peran penting seorang guru, dan menginginkan agar anak-anak mereka segera sekolah kembali, tapi di sisi lain, mereka pun khawatir anak-anaknya terpapar Covid-19 kalau pembelajaran tatap muka kembali dibuka. Hal tersebut adalah sebuah dilema. Maju kena, mundur juga kena.