Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terorisme dan Urgensi Literasi Perdamaian

14 Mei 2018   11:05 Diperbarui: 14 Mei 2018   16:42 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Tindakan bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya tanggal 13 Mei 2018 disamping memprihatinkan juga sekaligus mencengangkan karena dilakukan oleh satu keluarga yang baru pulang "sekolah" dari Siria. Sungguh sangat luar biasa hasil cuci otak para "biang" teroris yang mampu mencuci otak satu keluarga agar mau menjadi "pengantin" bom bunuh diri dengan iming-iming masuk surga.

Bom yang terjadi pada minggu pagi tersebut menyasar umat agama kristen yang akan melakukan ibadah. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan disaat bangsa Indonesia sedang kerja keras merajut tenun kebangsaan dalam bingkai NKRI. Tercatat sebanyak 13 orang tewas dan 43 orang luka. Korban tewas termasuk para pelaku bom bunuh diri. Oleh karena itu, para tokoh agama dan tokoh masyarakat mengutuk dan menghimbau agar masyarakat tidak terprovokasi oleh kasus tersebut.

Presiden Joko Widodo beserta Menkopolkam Wiranto, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto , dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian meninjau lokasi dan memastikan bahwa kasus tersebut akan diusut tuntas. Pemerintah tidak akan tinggal diam dalam melawan terorisme. Pasca terjadi bom di tiga gereja, aparat bertindak cepat dengan  menggerebek sebuah rumah di Perumahan Wisma Indah Blok K No. 22 Wonorejo Rungkut, Surabaya.

Kasus bom gereja di Surabaya masih diteliti aparat, tiba-tiba pada malam harinya muncul lagi kasus bom bunuh diri di sebuah Rusun di Sidoarjo yang pelakunya pun satu keluarga. Tercatat tiga orang luka, dua orang luka parah, dan satu orang selamat. 

Semua korban adalah pelaku bom bunuh diri. Lalu Senin, 14 Mei pukul  09.00 WIB bom meledak di Mapolrestabes Surabaya. Hal ini sontak semakin menyibukkan aparat yang sedang menyelidiki kasus-kasus bom sebelumnya. Rentetan kasus ledakan bom di tiga tempat tersebut diduga masih berkaitan antara yang satu dengan yang lainya.

Kasus bom bunuh diri memang sangat sulit diterka. Bahkan aparat pun kadang mengaku kecolongan dengan kasus-kasus bom bunuh diri, karena pelakunya sudah membulatkan niatnya untuk menjadi "pengantin"atau martir bom sebagai bagian dari perjuangan melawan sebuah rezim yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip atau paham yang yang diyakininya. Terorisme dijadikan sebagai alat perjuangan bagi mereka. Aksi terorisme juga dijadikan sebagai alat balas dendam terhadap aparat yang menangkap dan menewaskan rekan-rekannya, meski yang menjadi korban aksi terorisme justru dari kalangan masyarakat sipil.

Aksi bom bunuh diri bagi pelakunya dianggap sebagai sebuah keberanian dan kebulatan tekad memperjuangkan sebuah keyakinan dengan iming-iming surga. Tapi menurut saya, justru aksi tersebut merupakan sebuah bentuk kebodohan sekaligus keputusasaan. Iming-iming surga hanya dijadikan alat untuk mengelabui para pelaku yang memiliki pemahaman yang menyimpang, sehingga satu keluarga dengan sukarela mau dijadikan sebagai pelaku aksi bom bunuh diri. Khusus bagi anak-anak yang juga ikut menjadi pelaku, saya kira mereka juga merupakan korban dari pemahaman orang tuanya yang menyimpang.

Literasi Perdamaian

Munculnya kasus terorisme dimana salah satu bentuknya adalah bom bunuh diri merupakan sebuah pemahaman yang menyimpang dari para pelaku terhadap makna menegakkan sebuah keyakinan yang berkaitan dengan agama dan bentuk perlawanan terhadap rezim yang dinilainya zalim, tidak adil, dan sewenang-wenang.

Mereka tidak literat terhadap hakikat ajaran agama yang notabene mengajarkan perdamaian dan toleransi. Mereka dijejali dengan doktrin-doktrin yang sesat dan menyimpang dari kelompok-kelompok tertentu yang tujuannya hanya untuk menikmati keuntungan.  Seolah keyakinan dan agama yang berbeda dengan mereka harus dilawan dan dimusnahkan. Bahkan dalam konteks global, terorisme diciptakan oleh negara-negara kuat dengan tujuan meraup keuntungan politik dan ekonomi.

Literasi perdamaian harus diajarkan sejak dini, dimulai dari lingkungan keluarga. Sikap toleransi, saling menghargai dan saling menghormati antarsesama manusia harus ditanamkan. Mau hidup berdampingan walau berbeda keyakinan. Harmoni dalam kebergamaman. Itulah sejatinya substansi dari bhinneka tunggal ika yang menjadi salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Literasi perdamaian pun perlu masuk ke dalam kurikulum pendidikan agar para pelajar tidak terpapar virus-virus terorisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun