MENYUSUN RPP YANG MEMILIKI "RUH"
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP Jawa Barat)
Suatu waktu saya diundang oleh sebuah sekolah untuk memberikan materi Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bagi guru-guru di sekolah yang dipimpinnya. Sebelum saya menyampaikan materi, kepala sekolah memberikan gambaran tujuan dan harapan berkaitan dengan kegiatan tersebut. Intinya, dia berharap bahwa guru-guru mampu menyusun RPP yang memiliki "ruh", bukan hanya sekedar disusun dan menggugurkan kewajiban administratif sebagai guru.
Dia berharap bahwa RPP yang disusun oleh guru juga dilaksanakan pada saat pembelajaran, karena berdasarkan hasil supervisi yang telah dilakukannya, cukup banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan RPP yang telah disusunnya, bahkan ada yang kurang memahami RPP yang dibuatnya karena dibuat dari hasil copy-paste.
Penyusunan RPP mengacu kepada Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses. Pada permendikbud dijelaskan konsep dasar, prinsip-prinsip, hingga komponen-komponen RPP. Walau demikian, guru diberikan kebebasan untuk mengembangkan RPP sesuai kebutuhannya, karena pada hakikatnya adalah sosok yang paling tahu apa yang harus direncanakan dalam pembelajaran dan bagaimana cara melakukannya. Dengan kata lain, guru memiliki kedaulatan pedagogik dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran.
Bagaimana caranya untuk menyusun RPP yang memiliki "ruh?" menurut saya, RPP tersebut harus disusun oleh guru sendiri, dalam artian menggunakan kalimat sendiri, bukan sekedar copas dari RPP milik orang lain yang dengan mudah dapat dunduh di internet. Dengan menggunakan bahasa sendiri, guru memiliki pengalaman sekaligus ingat dengan apa yang ditulisnya. Selain itu, dia pun dapat menyesuaikan dengan karakteristik peserta didiknya.
RPP yang memiliki "ruh" akan dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru karena memahami dan menghayati RPP yang dibuatnya sendiri. Dia paham dan mampu melaksanakan metode yang digunakan, mampu menjabarkan secara rinci langkah-langkah pembelajaran, walau saat mengajar tidak sambil membuka RPP sekalipun.
Dengan adanya RPP yang dapat diunduh dengan mudah di internet atau adanya  RPP yang dijual sepintas memang meringankan tugas guru, tetapi sebenarnya menjebak guru tidak mau kreatif berpikir dan menyusun RPP sendiri. Guru-guru menjadi terlena dan dimanjakan. Contoh-contoh RPP yang selama ini seolah diadopsi secara langsung, tanpa dianalisis atau atau dikritisi relevansinya, atau minimal disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran, karakteristik peserta didik, dan karakteristik kurikulum di daerah.
Saat ini memang banyak "pesanan" Kemdikbud masuk ke dalam RPP, mulai dari Pengembagan Pendidikan Karakter (PPK), Higher Order Thinking Skills (HOTS), pendekatan saintifik, hingga literasi. Belum lagi "pesanan" kementerian atau lembaga lain, seperti pendidikan anti korupsi, pendidikan lalu lintas, pendidikan lingkungan hidup, HAM, perbankan, keuangan, dan sebagainya. Akibatnya guru pun menjadi pusing, model RPP mana yang harus dibuat, sehingga RPP yang dibuatnya sesuai dengan "proyek" yang menyeponsorinya.