Begitu turun dari bus, saya bertanya kepada mahasiswa yang kebetulan berdiri di pintu kampus lokasi salat Idul fitri. Tempatnya berada di sebelah kanan pintu masuk kampus utama.
Di sana terlihat perempuan Indonesia menggandeng anak dengan mukena di tangan bersama pasangan berjalan menuju arah tempat yang sama. Saya mengikuti di belakangnya.
Angin dingin menerpa semua benda termasuk badanku pagi itu. Dingin sekali. Bergegas aku cepat-cepat memasuki hall segera mungkin.
Gedung hall merupakan sarana berbagai olah raga dan aktifitas kampus. Terlihat jaring basket, tiang gol footsal, garis lapangan bulutangkis, dsb. Terlihat panitia sedang mengecek sound system. Dari raut wajahnya -- saya tebak --, ia pelajar.
Benar adanya, saat saya berdialog basa basi dengan bahasa Indonesia dengannya.
"Betul mas di sini tempat sholat Id nya. Sholat akan mulai kira-kira jam 08.30. Kita masih menunggu jamaat yang lain", jawabnya.Â
Satu persatu jamaah sholat hadir di hall. Beberapa jamaah membawa makanan khas lebaran Indonesia. Opor, sambel goreng kentang ati, kerupuk, telor cabe, dsb, berjejer di meja sebelah kiri shaf sholat.
Saf salat dibagi 3 barisan. Pertama bagi jamaah laki-laki. Shaf kedua bagi jamaah perempuan. Ketiganya bagi anak-anak dan para ibu yang sedang menyusui bayi. Imam sudah duduk di shaf paling depan dan bertakbir.Â
Saya dan jamaah yang sebagian besar warga Indonesia mengikuti di samping dan belakangnya. Tanpa terasa jamaah salat Id perlahan memadati ruang hall. Panitia berdiri memberi arahan demi terciptanya keteraturan barisan dengan bahasa Indonesia dan Inggris.Â
Takbir dilantunkan bertalu-talu. Tiba-tiba suara lebatnya hujan mengimbangi suara takbir. Hujan turun sejadi-jadinya. Kaki dan tanganku mengecil -- mengkisut -- dan kulit mengkerut putih-putih, pertanda hawa super dingin menyergap sekujur tubuhku.
Jamaah di samping yang dari Indonesia setengah berbisik, "Mas, dingin sekali, ya. Anda merasakan tidak?".