Mohon tunggu...
Idik Saeful Bahri
Idik Saeful Bahri Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang rakyat yang selalu menggugat

Saya merupakan lulusan Fakultas Hukum, S1 ditempuh di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sementara S2 dituntaskan di UGM Yogyakarta. Jadi, percayalah dalam masalah hukum, saya siap bertanggung jawab untuk setiap tulisan saya. Adapun tulisan saya diluar hukum, anggap saja hiburan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Semua gara-gara Gus Baha

13 Februari 2020   10:20 Diperbarui: 25 Maret 2020   19:38 3618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika bapa saya meninggal dunia pada tanggal 4 November 2018, hati saya mulai gelisah. Bukan karena kehilangan tulang punggung keluarga kemudian akan menghadapi kesulitan secara ekonomi. Bukan itu alasannya.

Entah kenapa, saya mulai merasa dekat dengan kematian. Bapa yang sebelumnya saya anggap akan bisa bertahan berpuluh-puluh tahun, dengan izin Allah dicabut nyawanya pada umur 67 tahun. Itu artinya, angan-angan saya bahwa bapa bisa hidup hingga 100 tahun luntur dengan sendirinya.

Seiring lunturnya pemikiran itu, muncullah kegelisahan. Bagaimana jika seandainya saya yang pada saat itu berusia 24 tahun dicabut nyawa secara tiba-tiba, entah karena kecelakaan ataupun sakit parah. Apakah saya siap menghadap Tuhan sementara diri saya bergelimang kesalahan dan dosa?

Berbulan-bulan pikiran seperti ini terus menghantui saya siang dan malam. Mungkin hampir 5 bulan lebih sejak meninggalnya bapa, saya tidak pernah tidur dengan nyenyak. Saya terus kepikiran, jika seandainya saya dipanggil oleh Allah, apa bekal yang sudah saya siapkan.

Namun ketika suatu hari saya mulai mencari-cari ceramah di youtube, saya menemukan ceramah kiai yang enteng tapi berisi. Itulah KH. Bahaudin Nursalim (Gus Baha). Cara penyampaiannya yang lugas dan mudah ditangkap logika awam, serta pembawaan yang humoris, membuatku melihat realitas agama dengan perbalikan yang hampir 180 derajat.

Agama yang sebelumnya saya maknai sebagai ketakutan, maksudnya jika nanti saya mati akan dihadapkan dengan malaikat-malaikat super seram yang siap menyiksa, namun dengan penjelasan Gus Baha, saya mulai berbalik arah dan memandang bahwa ketakutan itu tidak beralasan.

Allah adalah Tuhan yang Maha Pengampun dan Pengasih. Sudah berapa juta manusia yang dosanya diampuni olehNya padahal kesalahannya setumpuk gunung merapi? Saya disadarkan oleh ceramah Gus Baha, bahwa hidup ini rileks saja, kematian dimaknai sebagai proses alamiyah, dan kehidupan akhirat dimaknai sebagai perpindahan alam yang biasa, karena yakinlah Allah selalu bersama kita.

Maka gara-gara Gus Baha inilah, saya sudah tidak merasakan kegelisahan lagi. Seandainya saya dihadapkan kematian dalam waktu-waktu singkat ini, saya sudah punya jawaban yang siap membungkam malaikat, "Saya rombongannya Gus Baha!"

 

=============================

Catatan Rintik Hujan oleh : Idik Saeful Bahri (idikms)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun