Mohon tunggu...
Ida Riyani
Ida Riyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga - 20107030116

Masih labil, suka berubah-ubah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saatnya Berani Cegah Pelecehan Seksual

15 Juni 2021   18:05 Diperbarui: 15 Juni 2021   18:31 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berdasarkan penelitian  L'Oreal Paris bersama IPSOS -- Januari 2021, 8 dari 10 perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, sementara mitos berkata pelecehan seksual hanya terjadi pada perempuan yang sedang sendiri, malam hari, di tempat sepi, berbusana mini.

Data memang menunjukkan sebagian besar tindak pelecehan masih menyasat perempuan, tapi coba diamati, lokasi yang paling banyak menjadi latar terjadinya pelecehan seksual adalah jalan umum, transportasi publik lalu sekolah dan kampus.

Semuanya adalah ruang publik dan kasus pelecehan seksual di ruang publik ternyata paling tinggi bukan di malam hari tapi terjadi di siang hari, yak siang hari, tanpa gelap memberi kesempatan untuk sembunyi, ditambah lagi jenis pakaian yang dikenakan korban secara statistik bukanlah faktor signifikan.

Jadi stop berbicara tentang pelecehan seksual yang berasal dari ketelanjangan dan menghakimi korban. Siapapun bisa menjadi sasaran pelecehan, kita tidak hanya bicara soal sentuhan, tapi juga apa yang disebut catcalling, stalking, melakukan paksaan kencan, pertanyaan yang terlalu pribadi atau hal hal lain. Juga pelecehan melalui dunia maya lewat komentar komentar yang tidak sepatutnya.

Kita harus mengenali bahwa terdapat 5 bentuk pelecehan seksual, yaitu pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan isyarat, pelecehan tertulis / gambar dan pelecehan psikologis atau emosional. Dan ciri utama dari pelecehan seksual ini yaitu tidak dikehendaki oleh individu yang menjadi sasaran.

Pelecehan seksual diruang publik ini bukan sebatas tentang berapa angka korban, tetapi juga batu sandungan bagi sepak terjang perempuan. Kita perempuan jadi harus terbatasi ruang geraknya, diciutkan nyalinya, dipasung ekspresinya, diberatkan langkahnya dan dibuat bertanya tanya, apakah diri kita berharga? Ini semua banyak terjadi di ruang publik, tempat yang seharusnya terlindungi karena tertoreh kata publik di sana.

Bahkan semua itu kadang kadang terjadi seketika di hadapan kita sementara kita hanya menjelma sepasang mata yang terpaku dan membatu, mungkin terlalu terkejut, takut, bimbang, ragu ragu atau seperti yang terdata.

Berdasarkan penelitian  L'Oreal Paris bersama IPSOS -- Januari 2021 91% dari kita tidak melakukan apapun karena tidak tahu harus berbuat apa. Padahal kita sebagai bystander yang aktif seharusnya kita bisa memberikan perbedaan, pertanyaannya apa yang sungguh bisa kita lakukan?

Salah satu metode itu bernama 5D, lima cara melindungi seseorang yang mengalami pelecehan.

Yang pertama yaitu DITEGUR, kedua DIALIHKAN, ketiga DILAPORKAN, keempat DITENANGKAN, dan yang terakhir adalah DIREKAM.

Pertama ditegur, kita harus bisa secara tegas tanpa babibu beraksi menghentikan pelecehan. Misalnya dengan menegur pelaku seketika, ini metode paling jitu tapi juga paling beresiko perlu keberanian lebih dan harus dipastikan situasi kita aman karena bisa saja sipelaku berbalik menyasar kita. Begitupula dengan korban, pasti kan posisinya tidak malah jadi lebih rentan ketika kita mengintervensi aksi pelaku, pikirkan apakah situasinya tak berpotensi memburuk dan apakah memang si korban sedang berharap seseorang membelanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun