Mohon tunggu...
Icuk Prayogi
Icuk Prayogi Mohon Tunggu... Dosen - R A H A S I A

Pencinta kucing--pegiat linguistik deskriptif--pengajar bahasa Indonesia dan linguistik--kontributor akun @kenalLinguistik :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebuah Tanggapan: Kemenristek Dikti Arahkan Kampus Sesuai Kebutuhan Industri, Bukan Humaniora dan Sosial

16 Maret 2019   16:57 Diperbarui: 16 Maret 2019   17:06 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setelah sekian tahun, akhirnya saya menulis hal yang selama ini menggelisahkan. Kegelisahan ini sudah mulai muncul tatkala Dikti digabungkan ke Kemenristek, tidak di bawah Kemendikbud. Tanda-tandanya sudah tampak ketika melihat alur skema-skema penelitian yang diselenggarakan oleh Dikti.

Seorang kawan pernah membisiki saya bahwa untuk lolos penelitian Dikti, gunakan angka, grafik, dan semacamnya. Ternyata profesor senior di tempat saya studi pun mengatakan hal yang senada: "Mereka ini nggak ngerti humaniora, jadi yang memudahkan mereka memahami ya dengan angka-angka." Lebih konkret lagi, Dikti seolah mengatakan bahwa semuanya seharusnya bermuara pada industri! Artikelnya bisa dibaca di sini. 

Membaca keterangan Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi, Kemenristek Dikti, Totok Prasetyo, dalam artikel tersebut, saya merasa miris karena beberapa hal:

  • (1) Tugas Pemerintah adalah menyelenggarakan pendidikan guna "mencerdaskan kehidupan bangsa" bukan dalam rangka "mendirikan pabrik-pabrik tenaga kerja (buruh)".
    (2) Kalau untuk menciptakan tenaga kerja siap pakai, tidak perlu repot-repot menyelenggarakan pendidikan pada level perguruan tinggi. Cukup buka Lembaga Pelatihan Kerja sebanyak-banyaknya. Apa semua kampus harus vokatif? Contoh negara maju dg pendidikan vokasi mana?
    (3) Tenaga kerja siap pakai, maaf, hanya diorientasikan menjadi buruh/karyawan. Tidak untuk berwirausaha. Coba lihat, sejak SD diminta berseragam, tapi di sekolah nonkejuruan, tidak ada satu pun ekstrakulikuler wirausaha. Kondisi semacam ini akan menjadikan kita selamanya menjadi bangsa buruh dan karyawan.
    (4) Permasalahan bangsa ini tidak hanya berupa memble-nya industri-industri, tetapi masalah sosial dan kultural. Terbukti, orientasi industri sejak orde baru tidak serta merta dapat menyejahterakan rakyatnya. Ibarat membangun gedung dan segala fasilitasnya, tapi tidak membangun manusia penghuninya.
    (5) Apa yang mau diharapkan dari industrialisme? Amerika Serikat dan negara2 Uni Eropa saja menghadapi masalah deflasi (stagnasi pertumbuhan ekonomi), Jepang menghadapi masalah regenerasi, China bermasalah serius dengan pencemaran udara akibat pabrik-pabriknya--Indonesia mau berkiblat ke siapa?

Coba sekarang, permasalahan bangsa ini tidak hanya perkara CAD yang hampir selalu defisit, utang Pemerintah dan BUMN-BUMN yang menggunung, industri perbankan dengan fraud-nya yang kurang sehat, atau masalah "sepele" semacam penghasilan buruh DKI Jakarta yang melebihi gaji dosen PNS. Mari diuraikan masalah humaniora yang masih belum selesai karena bangsa ini terlalu berfokus pada teknologi dan industri:

(1) Hoax, berita bohong. Gencar sekali teknologi merasuk ke setiap lini kehidupan manusia, salah satu yang sangat mendesak adalah teknologi informasi. Ini adalah akibat teknologi sudah melampaui kebutuhan manusia sehingga teknologi menjadi juragannya, manusia menjadi babunya. Sekali berita bohong beredar, kedahsyatannya bisa merusak pikiran mulai orang yang berpendidikan rendah hingga yang paling tinggi. Apakah edukasi cukup untuk menangkalnya? Kata siapa. Edukasi kita belum mampu menciptakan budaya. Edukasi kita lebih berorientasi pada industri. Akibatnya ya begini.

(2) Urbanisme. Masalah klasik ini belum juga selesai. Mengapa? Kota dianggap sebagai pusat kemakmuran. Untuk mengubah pandangan ini jela tidak hanya dengan membuat baliho dengan slogan-slogan di pinggir jalan, tidak pula hanya memberikan bantuan miliaran untuk tiap desa, tapi perlu mengubah pola pikir masyarakat. Bertani, misalnya, semestinya menjadi profesi yang bergengsi. Nyatanya, walau misalnya si petani kaya pun, masih dianggap tidak punya gengsi tinggi. Mengubah pola pikir dengan cara apa? Biarkan ahlinya (humaniora) yang merancang dan menyelesaikan. Memindahkan pabrik ke desa jelas bukan jawaban, malah akan semakin menambah persoalan.

(3) Benturan akibat perbedaan agama/kepercayaan. Dengan cara berpikir nonhumanis, seseorang bisa dengan gampang menghakimi orang yang tidak seiman dengannya sebagai orang tidak patut dihargai, halal untuk dijelek-jelekkan, dan bahkan kadang membunuh pun dianggap legal. Krisis ini sejak dulu selalu berusaha diatasi oleh semua elemen bangsa. Sekarang ditambah ruwet lagi dengan perbedaan orientasi politik. Bagaimana cara menyelesaikannya? Apakah Dikti punya solusi?

Ketiga hal di atas adalah contoh kecilnya. Saya kira, membangun manusia semestinya lebih didahulukan. Industri adalah alat; alat manusia untuk mencapai kemakmuran, dan bukan sebaliknya. Sekali lagi: muara dari segala macam pembangunan adalah manusia, bukan  industri!

Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun