Mohon tunggu...
Anisa Rizky
Anisa Rizky Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik yang mencintai dunia bahasa dan sastra Indonesia

Penulis |Guru|

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tuhan, Mengapa Aku Berbeda?

11 Februari 2017   07:39 Diperbarui: 11 Februari 2017   09:07 2172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini sepenggal kisah mengenai seorang anak manusia, yang sedari kecil terlahir dalam keluarga yang “pincang”. Tuhan, sering sekali terlintas di pikiranku:

Mengapa aku dilahirkan dalam keluarga yang retak? Padahal orang-orang di sekelilingku tidak. Mereka terlahir dengan keluarga yang sangat...sangaat harmonis. Jauh sekali perbandingannya denganku.

Mengapa dulu ayahku meninggalkanku sejak bayi dan tak pernah sedetikpun ingin tahu tentang keadaanku? Padahal, mereka handai taulan, amat berbahagia, berbangga diri, terhadap ayahnya.

Mengapa teman-temanku sangat mudah sekali berbicara tentang suatu topik yang bertema “Ayah”? Mereka paham dan tahu betul untuk mendeskripsikan sosok tersebut. Tapi, aku? Tahukah kau? mendeskripsikan sosok tersebut adalah suatu beban di dalam hidupku, sama halnya dengan mengerjakan matematika. Perlu waktu yang lama dan pikiran yang keras untuk menceritakan pada mereka.

Mengapa ketika anak-anak seusiaku tumbuh dan hidup bahagia bersama ayahnya? Tapi aku? Ayahku telah “membuangku” jauh dari kehidupannya. Aku tak pernah sedetikpun merasakan hangatnya kasih sayang seorang ayah.

Mengapa teman-temanku harus bersedih karena tidak bisa membeli barang-barang branded? Padahal sejatinya aku di sini harus menangis dalam hati bukan karena tak bisa membeli barang-barang branded juga seperti mereka, melainkan hatiku telah dipatahkan dan dicampakkan olehmu, ayahku sendiri.

Mengapa orang lain amat mudah mengucapkan kata “ayah”, “papah”, “bapak” atau apapun itulah? Tetapi aku? Mulutku teramat sulit untuk mengucapkan kata-kata tersebut. Bagaikan telah dioleskan lem berton-ton dalam mulutku sehingga tak bisa kubuka mulutku itu.

Mengapa orang-orang pandai sekali mengatakan dan menganggap kalau “ayah adalah pria pertama yang takkan menyakiti dan meninggalkanmu”? Padahal sebaliknya, justru ayahku adalah pria yang telah berhasil menggoreskan luka yang amat parah di dalam hatiku. Bahkan luka tersebut terasa sangat menganga dan takkan bisa sembuh walau dengan hujan badai sekalipun.

Maafkan aku Tuhan. Bukannya aku tak mensyukuri hidup yang telah Engkau berikan. Bukannya aku juga tak menerima takdir. Tapi, mengapa aku berbeda? Mengapa kau “titipkan” masalah yang amat berat seperti ini saat usiaku masih belia? Aku juga ingin memiliki hidup seperti mereka, hidup dengan keluarga yang “normal”. Apakah aku tak layak dicintai seperti mereka? Apakah aku tak layak bahagia?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun