Mohon tunggu...
Ibnu Budiman
Ibnu Budiman Mohon Tunggu... Konsultan - Earts

Environment, sustainability, arts

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Penanganan COVID-19: Gotong Royong atau Gotong Bopong?

22 April 2020   11:28 Diperbarui: 22 April 2020   11:28 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sebelum Indonesia, sejumlah negara Asia lain seperti Taiwan, Vietnam, dan Korea Selatan telah berhadapan dengan penanganan virus novel corona (COVID-19). Ada dua strategi kunci dalam tata kelola penanganan COVID 19. Pertama, pengecekan suspect, melacak potensi penularan, mengisolasi suspect, dan memberikan keterbukaan informasi tersebut kepada public. Kedua, menggunakan teknologi informasi dalam mengelola data di poin pertama-untuk membantu pengawasan potensi penularan. Sarana dan prasarana untuk mendukung kedua hal ini sayangnya tidak dipersiapkan Pemerintah Indonesia sejak COVID 19 mulai teridentifikasi di China akhir 2019 lalu. Alhasil, sistem kesehatan Indonesia saat ini kesulitan menangani penyebaran COVID 19, mulai dari masalah keterbatasan alat tes PCR, tenaga dan fasilitas kesehatan (faskes), hingga uncertainty dalam keterbukaan data kasus.

Dengan pertumbuhan COVID-19 secara eksponensial seperti sekarang yang juga terjadi di banyak negara lain, sejumlah kota diperkirakan mungkin akan mengikuti Jakarta yang saat ini mencapai angka 3000 kasus COVID-19 yang butuh rawat inap dalam waktu 40 hari sejak orang pertama terinfeksi. Hal ini berpotensi membuat sistem kesehatan collapse, terutama di kota-kota dengan keterbatasan tenaga dan fasilitas kesehatan. Apalagi kebijakan PSBB yang belum efektif dan resiko kerumunan di Ramadan dan lebaran berpotensi terus menaikkan angka penularan.

Resiko terburuk diatas tidak akan terjadi jika sejak awal tata kelola penanganan COVID 19 bergotong royong melibatkan partisipasi dan kerjasama kolektif semua pihak, sayangnya kebijakan yang lambat dari pemerintah dan kurangnya inisiatif pelibatan para pihak seperti ilmuwan dan perusahaan farmasi- membuat gotong royong tidak terjadi, yang terjadi justru gotong bopong jenazah korban yang semakin meningkat. Namun bukan berarti sudah tidak ada waktu lagi, gotong royong masih bisa dioptimalkan, dengan sejumlah langkah berikut;

Pertama, pemerintah perlu mempercepat dan mempertegas langkah-langkah strategis penanganan dan pencegahan penularan, dengan mengatur ketersediaan faskes dan pola kerja tenaga medis. Hal ini bisa dilakukan dengan menerima bantuan, dan membuka peluang kerjasama dengan sejumlah pihak yang memiliki sumber daya inovasi, expertise, dan pendanaan. Hal ini memerlukan upaya mencari titik tengah antara kepentingan insentif, politik bisnis, dan aksi kemanusiaan.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid19 harus benar-benar bekerjasama dengan semua pihak untuk menambah jumlah tes PCR di daerah berisiko tinggi. Hasil dari tes kemudian memerlukan keterbukaan informasi lokasi, untuk membantu langkah mencegah dan melacak potensi penularan. Pasien yang sudah positif harus dipastikan mendapatkan keadilan sosial, semua lapisan masyarakat harus memiliki akses gratis untuk pengecekan dan pengobatan COVID 19.

Kedua, peran swasta, perguruan tinggi, dan sekolah sangat dibutuhkan untuk benar-benar memfasilitasi karyawan/siswa untuk beraktifitas dari rumah dan memberikan donasi (termasuk persediaan peralatan medis). Hal ini membutuhkan sebuah platform bersama untuk mengintegrasikan upaya-upaya yang saat ini masih terpisah satu sama lain, seperti penelitian dari beberapa universitas, lembaga riset, dan perusahaan farmasi tentang pengobatan COVID 19.

Peran swasta lainnya bisa juga dengan menyesuaikan kebijakan atau model bisnis dengan prinsip pencegahan penularan COVID 19, seperti menyesuaikan model bisnis seperti mekanisme transaksi untuk menghindari antrian atau kepadatan di dalam jual beli, yang berpotensi memicu penularan.

Ketiga, peran Lembaga masyarakat dibutuhkan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pencegahan, gejala, dan penanganan COVID 19. Lembaga masyarakat bisa membantu kelompok masyarakat yang masih tidak peduli terhadap pencegahan penularan, dengan membantu mereka menyaring informasi yang simpang siur di media massa dan media social mengenai COVID 19.

Keempat, peran media diharapkan bekerjasama untuk tidak menambah kepanikan di masyarakat, dengan memberikan berita yang bersifat konstruktif dan informatif untuk masyarakat dalam merespon COVID 19. Media diharapkan lebih mempertimbangkan strategi dalam memberikan kritik terhadap pemerintah masalah penanganan COVID 19. Kritik bisa disertai dengan input yang konstruktif, sehingga bisa langsung dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan. Jangan sampai kritik tersebut mengganggu dan menguras energi para pihak yang harusnya focus pada aksi penanganan di lapangan.

Kelima, peran pemuka agama juga tidak kalah penting dalam menghimbau umat agama masing-masing untuk mendukung upaya pencegahan penularan dengan menghindari kerumunan seperti kegiatan ibadah kolektif. Kasus di Korea Selatan dan Malaysia menunjukkan bahwa kerumunan di tempat ibadah dan kegiatan keagamaan massal berdampak besar terhadap peningkatan kasus penularan.

Semua pihak di atas harus melakukan kordinasi dan komunikasi yang terbuka, untuk bisa saling melengkapi upaya kerjasama kolektif aksi penanganan COVID 19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun