Mohon tunggu...
Ian Kassa
Ian Kassa Mohon Tunggu... Freelancer - Merdeka dalam berpikir.

Percaya bahwa tak ada eksistensi tanpa perbedaan. Serta percaya pada proses, bukan pada mitos.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Berdarah Fanatisme Agama

12 Mei 2018   11:05 Diperbarui: 12 Mei 2018   11:25 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: duaanak.com

Potret selimut darah fanatisme agama tidak hanya termanifeskan pada Bruno semata. Jauh sebelum era Bruno, sosok Hypatia telah menjadi ikon ilmu pengetahuan di Alexandria. Sama halnya dengan Bruno, obsesi dan kecintaan Hypatia terhadap ilmu pengetahuan justru dianggap sebagai sebuah gangguan atas stabilitas agama. Hypatia menolak dibaptis kala itu, pendiriannya untuk tetap memilih filsafat dipandang sebagai sikap yang resisten atas hegemoni agama. Akibatnya, nyawa Hypatia direnggut oleh tangan-tangan kaum fanatik dengan cara yang tak manusiawi.

Tentang dua contoh sejarah tersebut, seorang teman pernah berseloroh, "Itu kan terjadi dalam agama Kristen. Dalam sejarah peradaban Islam tidak ada kisah seperti itu."

Siapa bilang tidak ada? Dalam sejarah peradaban Islam pun tak kalah mengerikannya. Islam dan Kristen memang berbeda. Akan tetapi, kedua agama ini sama-sama memiliki penganut yang tingkat fanatismenya juga berselimutkan darah. Islam dan Kristen memang tak sama, namun keduanya adalah agama yang pernah menancapkan hegemonistiknya ketika bergandengan dengan politik kekuasaan.

Mari kita sebut beberapa nama. Di era superioristik dinasti Abbasiyah, Mansur al-Hallaj, seorang ulama beraliran sufistik pernah berkata, "An-al-haq" (Akulah kebenaran). Buah dari perkataannya tersebut berujung pada paksaan maju ke tiang gantung di Baghdad pada 922 M.

Al-Hallaj tidak seorang diri. Di bawah kekuasaan dinasti yang sama, saat di mana Mu'tazilah dirangkul dan dijadikan mazhab resmi, korban lain pun berguguran. Seorang ulama yang cukup populer, Muhammad as Syaibani bin Hambal, atau lebih familiar dipanggail Imam Hambali merupakan salah satu dari korban fanatisme dan kesewenang-wenangan kekuasaan penguasa Abbasiyah. Jika al-Hallaj menjemput maut di tiang gantung, maka Imam Hambali, akibat keteguhannya menolak menyatakan Al-Qur'an adalah mahluk, Ia pun dijebloskan ke dalam penjara dan hampir setiap saat menerima cambukan algojo.

Ironis, di satu sisi manusia banyak meyakini bahwa agama itu damai dan menentramkan. Namun, pada sisi yang berbeda manusia harus menelan pil pahit kenyataan sejarah bahwa agama pun berpotensi disalah gunakan. Kisah pilu Bruno, Hypatia, Al-Hallaj dan Imam Hambali tak lebih dari sekedar contoh terkecil. Tentu kita masih bisa menuturkan banyak kisah serupa. Di sana ada Galileo Galilei yang dipaksa memasuki tahanan rumah, Nicolaus Copernicus yang dipandang sebagai ilmuwan sesat, dan ada pula Ibnu Rusyd yang berbagai buku-bukunya dibakar karena dipandang menyesatkan, pada tahun 1195 Ibnu Rusyd dibuang ke Lucena karena dituduh kafir.

Apakah jejak fanatisme agama berselimut darah berakhir di masa lalu? Tidak. Di abad ke-21 ini pun cukup semarak dengan hal serupa. Mari kita sebut lagi satu nama. Apa kabar Raif Badawi? Pada tahun 2012 Badawi ditangkap di kota Jeddah. Badawi ialah seorang blogger Arab Saudi yang padanya ditimpakan hukuman penjara dan 600 cambukan karena diduga menghina Islam  dalam website yang dibuatnya. Perlakuan pemerintah Arab Saudi terhadap Badawi membuat dunia internasional naik darah. Atas nama HAM, PBB beserta sejumlah Negara lainnya mendesak Kerajaan Arab Saudi untuk mengampuni Badawi.

Tindakan represif dari beberapa kalangan ummat beragama menjadi penanda fanatisme yang berlebihan. Lantas apakah kemudian ummat beragama tidak boleh merasa agamanya paling benar? Oh, tentu boleh saja. Seorang muslim berhak untuk meyakini bahwa Islamlah yang benar. Ummat beragama lain pun boleh memiliki keyakinan demikian. Namun kemudian menjadi tidak wajar ketika keyakinan itu dipaksakan secara represif kepada orang lain hanya karena mereka berpendapat lain.

Entah di mana dan kapan, teman lama saya pernah nyelutuk, "Memiliki agama itu bagus-bagus saja. Seperti anda memiliki alat kelamin. Anda boleh membanggakannya. Tapi, jangan teriakkan bagaimana rupa alat kelamin anda di tengah keramaian. Apatalagi memaksa orang lain memeluk kelamin anda."

Salam damai. Mari ngopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun