Mohon tunggu...
Jurnalis Cendekia
Jurnalis Cendekia Mohon Tunggu... Aktivis-Ekonom-Penulis

Cogito Ergo Sum ; Aku berpikir maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melampaui Sensasi Konflik: Membangun Jurnalisme Perdamaian di Tengah Polarisasi Global

28 Juni 2025   02:14 Diperbarui: 28 Juni 2025   02:14 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: istockphoto.com)

Oleh: Ahmad Syaifullah

Eskalasi konflik di berbagai penjuru dunia menempatkan media dalam posisi krusial. Cara media menyampaikan realitas konflik tak jarang justru menjadi bagian dari problem itu sendiri. Selama ini, wajah jurnalisme dalam pemberitaan konflik didominasi oleh pendekatan yang menonjolkan aspek kekerasan, pertumpahan darah, dan kerugian material. Sementara itu, penyebab konflik yang sesungguhnya maupun dampak jangka panjang yang tersembunyi sering kali luput dari perhatian.

Pola pemberitaan seperti ini sudah dianggap sebagai kelaziman bahkan menjadi acuan di banyak redaksi. Tayangan visual tentang korban luka, rumah yang hancur, serta statistik kematian menjadi suguhan rutin di layar kaca dan halaman surat kabar. Di balik gemerlap berita sensasional itu, upaya untuk membedah akar konflik, memahami dinamika sosial, dan mengarahkan perhatian publik pada solusi damai cenderung terpinggirkan.

Jurnalisme perang tanpa landasan kritis pada akhirnya menyederhanakan realitas konflik yang sesungguhnya sangat kompleks. Media kerap memposisikan konflik dalam kerangka yang kaku: siapa kawan, siapa lawan; siapa pemenang, siapa pecundang. Narasi seperti ini tidak memberi ruang bagi publik untuk memahami realitas secara utuh. Sebaliknya, masyarakat justru terjebak dalam polarisasi ekstrem yang memperbesar sekat perpecahan sosial.

Fenomena tersebut dapat disaksikan secara nyata dalam pemberitaan konflik di Timur Tengah, Ukraina, atau berbagai pertikaian antar kelompok di Indonesia. Bukannya mendorong iklim damai, sebagian besar pemberitaan justru larut dalam framing provokatif, mempertebal stigma, dan bahkan menyulut sentimen permusuhan yang kian meluas di masyarakat.

Yang kerap terlupakan adalah kenyataan bahwa perang tidak hanya merenggut nyawa atau menghancurkan infrastruktur. Ketidakstabilan ekonomi adalah konsekuensi serius yang tak bisa dihindari, bukan hanya bagi negara-negara yang berkonflik, tetapi juga bagi kawasan atau bahkan dunia secara keseluruhan. Kenaikan harga komoditas global, terganggunya distribusi pangan, runtuhnya rantai pasok, hingga inflasi yang merambah ke berbagai negara adalah dampak nyata dari konflik bersenjata, meski letaknya ribuan kilometer jauhnya.

Kita dapat melihat contohnya melalui perang di Ukraina. Konflik ini tidak hanya menyebabkan kehancuran di medan tempur, tetapi juga memicu krisis pangan dan energi di Eropa, serta memberi efek domino terhadap ketidakpastian ekonomi global. Di Indonesia sendiri, masyarakat turut merasakan imbas berupa lonjakan harga kebutuhan pokok, bahan bakar, serta ancaman resesi yang dapat memicu ketegangan sosial baru.

Kondisi semacam ini menunjukkan betapa pentingnya membangun jurnalisme perdamaian. Tidak cukup hanya memberitakan kekerasan, jurnalis dituntut untuk mengungkap akar persoalan, menyajikan informasi secara komprehensif, serta membuka ruang dialog, rekonsiliasi, dan solusi konkret untuk menghentikan siklus konflik.

Penting ditekankan bahwa jurnalisme perdamaian tidak berarti menutup-nutupi fakta atau melembutkan realitas. Justru sebaliknya, pendekatan ini mengajak insan pers untuk menyampaikan seluruh sisi peristiwa, termasuk dampak psikologis, trauma kolektif, kerusakan sosial, budaya, dan ketidakstabilan ekonomi yang sering kali diabaikan dalam pemberitaan arus utama.

Jurnalisme perdamaian juga mengajak media untuk memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini dipinggirkan. Bukan hanya opini elite politik atau pihak-pihak bersenjata, tetapi juga kisah para korban, masyarakat sipil, kelompok rentan, dan para pegiat perdamaian yang kerap berjuang tanpa sorotan kamera. Narasi seperti ini penting untuk membangun empati, memanusiakan konflik, serta membuka jalan menuju penyelesaian yang berkeadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun