Oleh: Ahamad Syaifullah
Pariwisata pedesaan semakin mendapat tempat sebagai salah satu pendekatan strategis dalam mendorong pembangunan berkelanjutan, terutama di wilayah terpencil yang selama ini kurang terjangkau oleh perhatian pemerintah pusat. Meskipun menyimpan potensi ekonomi yang besar, proses formaliasi sektor ini masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal pemberdayaan wirausaha lokal. Sebuah penelitian terbaru oleh Lavinia Wilson-Youlden dan Helen Farrell (2025) memberikan gambaran mengenai rumitnya pengembangan pariwisata di daerah-daerah marginal yang minim dukungan infrastruktur maupun kebijakan.
Dalam studi berjudul "Rural Entrepreneurship and the Formalisation of Rural Tourism in Marginal Destinations: Challenges and Perspectives", kedua peneliti tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha lokal merupakan penggerak utama dalam dinamika pariwisata pedesaan. Mereka menjalankan berbagai bentuk usaha seperti homestay, kuliner khas, hingga layanan wisata berbasis alam dan budaya. Namun, masih banyak dari mereka yang menjalankan bisnisnya secara informal karena terkendala akses terhadap permodalan, pelatihan manajemen, dan kepastian hukum.
Di Indonesia, tantangan serupa juga muncul di berbagai wilayah seperti kawasan pegunungan di Nusa Tenggara, daerah perbukitan di Kalimantan Utara, pesisir Papua dan daerah terpencil lainnnya di beberapa pulau besar. Â Meski memiliki kekayaan budaya dan keindahan alam yang luar biasa, wilayah-wilayah ini jarang masuk dalam daftar prioritas pembangunan pariwisata nasional. Dalam situasi seperti itu, pelaku usaha lokal kerap harus berjuang sendiri untuk mempertahankan kelangsungan usahanya di tengah keterbatasan sumber daya.
Menurut Wilson-Youlden dan Farrell, formaliasi pariwisata tidak cukup hanya dengan pendaftaran izin atau dokumen legalitas. Hal ini juga mencakup aspek pelatihan keterampilan, pengembangan jaringan pemasaran, serta perlindungan terhadap usaha kecil dari tekanan pasar dan regulasi yang memberatkan. Tanpa dukungan sistemik, pelaku usaha pedesaan akan kesulitan untuk bersaing secara sehat dalam lanskap pariwisata yang semakin terdigitalisasi dan kompetitif.
Yang menarik, dalam studi ini ditemukan bahwa sebagian pelaku usaha lokal justru enggan untuk melembagakan usahanya secara formal. Banyak yang merasa khawatir akan terjebak dalam kerumitan birokrasi atau kewajiban pajak yang tidak sesuai dengan skala usaha mereka. Kekhawatiran tersebut menunjukkan perlunya kebijakan yang peka terhadap kondisi di lapangan dan tidak hanya mengandalkan pendekatan formalitas semata.
Laporan ini juga mencatat pentingnya membangun jejaring dukungan yang melibatkan berbagai pihak seperti organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, dan lembaga pelatihan. Program inkubasi bisnis yang dilaksanakan secara lokal terbukti mampu memberikan pelatihan praktis sekaligus memperluas akses pelaku usaha terhadap pasar. Selain itu, keterlibatan pemuda desa dalam sektor ini dinilai penting untuk menjamin keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Di tengah meningkatnya tekanan global akibat krisis iklim dan ketimpangan ekonomi, pengembangan pariwisata lokal di daerah-daerah terpencil dapat menjadi salah satu solusi pembangunan yang lebih adil. Usaha berbasis masyarakat yang mengedepankan kearifan lokal dan pelestarian lingkungan memberikan alternatif bagi pertumbuhan ekonomi yang tidak eksploitatif. Namun, hal itu hanya bisa terwujud jika tersedia dukungan struktural yang berpihak pada usaha mikro dan komunitas kecil.
Pemerintah daerah memegang peranan penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan sektor ini. Penyederhanaan proses perizinan, pelatihan keterampilan digital, hingga pembukaan akses terhadap pembiayaan mikro merupakan beberapa langkah konkret yang dapat ditempuh. Di sisi lain, sektor swasta juga bisa mengambil bagian melalui skema tanggung jawab sosial perusahaan yang diarahkan untuk memperkuat kapasitas usaha dan memperluas promosi destinasi.
Kemajuan pariwisata pedesaan tidak cukup hanya mengandalkan pesona alam atau kekayaan budaya semata. Ia membutuhkan sistem kewirausahaan yang sehat, partisipatif, dan berkeadilan. Seperti dikemukakan oleh Wilson-Youlden dan Farrell, pembangunan sektor ini di wilayah marginal membutuhkan kolaborasi nyata antara pelaku lokal, kebijakan publik, dan sistem ekonomi yang memberikan ruang tumbuh bagi komunitas kecil. Diperlukan kebijakan yang berpihak pada penguatan kapasitas wirausaha lokal di sektor pariwisata pedesaan, khususnya di wilayah terpencil. Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya mengembangkan skema pendampingan terintegrasi yang mencakup pelatihan manajerial dan digitalisasi usaha, penyederhanaan perizinan, serta perluasan akses terhadap pembiayaan mikro. Selain itu, perlu dibentuk forum kolaboratif antara pelaku usaha, akademisi, LSM, dan sektor swasta untuk memastikan bahwa proses formaliasi tidak bersifat top-down, tetapi berbasis pada kebutuhan dan potensi komunitas lokal. Pendekatan partisipatif ini diyakini dapat mendorong pertumbuhan sektor pariwisata yang inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing.