Jember, 15 April 2025 --- Anak-anak yang berhadapan dengan proses hukum harus mendapatkan perlakuan yang adil dan manusiawi tanpa tekanan psikologis, demikian disampaikan oleh Donald Yulianto, Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda Pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Jember, saat sedang melakukan monitoring kegiatan klien pemaysarakatan di Yayasan Pondok Pesantren Nurul huda, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember.Â
Donald Yulianto menyampaikan bahwa sistem peradilan pidana anak di Indonesia telah menegaskan perlunya pendekatan yang mengutamakan keadilan restoratif, bukan hukuman semata. "Anak yang melakukan kesalahan tidak serta-merta kehilangan haknya sebagai anak. Mereka tetap harus dilindungi, didengar, dan dibina, bukan ditekan secara emosional," ujar beliau.
Menurut Donald Yulianto, masih banyak kasus di mana anak yang berkonflik dengan hukum mengalami tekanan, baik dari aparat penegak hukum, lingkungan sekitar, bahkan keluarga sendiri. Hal ini dinilai dapat berdampak buruk terhadap kondisi mental anak dan memperbesar potensi pengulangan tindak pidana (residivisme).
Firman Bagus Setyawan yang menjabat sebagai Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama sekaligus memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi dari Universitas Diponegoro, menambahkan bahwa tekanan yang dialami anak dalam proses hukum bisa memicu gangguan kecemasan, depresi, bahkan trauma jangka panjang. "Kita harus ingat bahwa otak dan emosi anak masih berkembang. Perlakuan yang salah bisa merusak masa depan mereka," jelasnya.
Sebagai langkah konkret, Balai Pemasyarakatan Kelas II Jember telah berupaya dengan cara berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) di lingkungan wilayah kerja Balai Pemasyarakatan Kelas II Jember dalam hal melakukan sosialisasi dan diskusi terkait dengan penanganan perkara anak agar proses hukumnya dilakukan dengan pendekatan yang ramah anak. Ini termasuk: pemeriksaan di ruang khusus, pendampingan psikolog, serta keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam proses pembinaan.
Donald Yulianto juga mengimbau media massa untuk berhati-hati dalam memberitakan kasus yang melibatkan anak agar tidak menimbulkan stigma atau tekanan tambahan.
"Harus ada kesadaran kolektif bahwa kita tidak sedang menghukum anak, tapi membimbing mereka untuk kembali ke jalan yang benar," tegas Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI