Mohon tunggu...
Heru Susetyo Nuswanto
Heru Susetyo Nuswanto Mohon Tunggu... Dosen - Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.M.Ag. Ph.D - Associate Professor Faculty of Law Universitas Indonesia

Associate Professor at the Faculty of Law University of Indonesia and Human Rights Attorney at PAHAM Indonesia. Studying Human Rights toward a degree (LL.M) at Northwestern Law School, Chicago, and Mahidol University, Bangkok (Ph.D. in Human Rights & Peace Studies). External Ph.D. researcher in Victimology at Tilburg University, Netherlands. Once a mountaineer, forever a traveler...and eager to be a voice for the voiceless people. Twitter : @herususetyo FB : heru.susetyo@gmail.com; e-mail : heru@herususetyo.com; IG : herususetyo2611

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Paradoks Senjata AS

21 Januari 2013   03:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:19 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PARADOKS SENJATA AS

Heru Susetyo

Staf Pengajar Hak Asasi Manusia

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

hsusetyo@ui.ac.id

Penembakan demi penembakan massal terjadi begitu telanjang di Amerika Serikat.  Terjadi di sekolah, kampus, shopping center, jalanan, sampai di dalam bioskop.  Korban jiwa yang tewas dan luka-luka tak  terhitung banyaknya.  Parahnya,  pelakunya adalah orang biasa, warga sipil. Bukan militer, bukan polisi, juga bukan dalam rangka penegakan hukum.  Mereka adalah warga biasa yang stress, psycho, yang gerah karena jadi korban bullying, dan serangkaian sebab lain yang berhubungan dengan masalah kejiwaan dan disintegrasi sosial.

Tindakan ‘terorisme’ skala nasional ini hampir merata terjadinya. Di Sandy Hook Elementary School, Newton Connecticut, 27 orang tewas diberondong pada 14 Desember 2012 dimana 18 orang diantaranya adalah anak-anak. Di shopping mall daerah Oregon, 2 orang ditembak hingga tewas pada 11 Desember 2012.  Di Minneapolis, Minnesota,  5 orang tewas dan 3 orang luka-luka pada 27 September 2012, akibat seorang pengangguran yang mengamuk karena baru saja kehilangan pekerjaan.  Di Aurora, Colorado, 12 orang tewas dan 58 luka-luka akibat penembakan massal dari orang yang mengaku sebagai ‘joker’ pada pemutaran perdana film Batman “The Dark Knight Rises”  di dalam bioskop. Ikut terluka pada tragedi ini adalah satu keluarga Indonesia yang tinggal di daerah tersebut.   Kemudian, pada 2 April 2012,  seorang mantan siswa di Oikos University, Oakland California, menembak 7 orang hingga tewas .  Dan masih banyak lagi kasus penembakan massal oleh warga sipil di AS.

Sejak tahun 1982 sampai peristiwa Sandy Hook Elementary School 14 Desember 2012, telah terjadi 61 penembakan massal di Amerika Serikat.  Kemudian, setelah peristiwa berdarah di Columbine High School Colorado, 20 April 1999,  dimana dua siswa menembak tewas 13 rekannya (yang kemudian jadi icon kasus penembakan massal di AS),  paling tidak, telah terjadi lagi  31 penembakan massal di dalam sekolah/ kampus di Amerika Serikat.   Data statistik menunjukkan bahwa jumlah korban tewas oleh senjata api yang dimuntahkan oleh warga sipil di AS adalah 19.5 kali lebih tinggi daripada semua negara maju di dunia.

Penembakan massal paling tragis terjadi di Virginia Tech, Virginia oleh seorang mahasiswa AS keturunan Korea Selatan pada 16 April 2007.  Dimana 32 orang tewas dan 24 orang luka parah.  Bahkan, salah seorang mahasiswa Indonesia turut menjadi korban tewas dalam peristiwa tersebut.

Begitu banyaknya penembakan massal di dalam negeri AS tersebut tentunya  melahirkan pertanyaan awam, mengapa pemerintah AS serius mengatasi ‘terorisme’ di dalam negeri tapi tak mampu menanggulangi ‘terorisme’ di dalam negeri sendiri?

Berdaya ke Luar Tidak ke Dalam

Masyarakat awam tentunya bertanya-tanya.  Mengapa pemerintah AS seperti tak berdaya menanggulangi masalah ini.  Karena, terlepas dari masalah kejiwaan semua pelaku penembakan massal tersebut,  kekerasan tersebut terjadi karena begitu mudah warga sipil memiliki dan menyandang senjata di AS. Bahkan, hak untuk memiliki senjata alias ‘right to keep and bear arms’ dilindungi oleh Konstitusi AS.

Ketidakberdayaan pemerintah AS terungkap ketika pemerintahan Obama sulit sekali untuk meloloskan Undang-Undang Pengetatan Kepemilikan Senjata Api bagi warga sipil di tingkat kongres. Juga di  kalangan masyarakat.  Asosiasi Senjata Nasional (National Rifle Association) menentang usulan tersebut karena dinilai melanggar konstitusi.  Sementara itu pengusaha senjata khawatir lebih karena alasan ekonomi (Republika, 16/01/2013).

Ironi berikutnya adalah, ketika di dalam negeri tak berdaya, di luar negeri militer dan senjata AS begitu digdaya menebar kekerasan.  Atas nama Perang Melawan Terorisme (War Against Terrorism) dalam perang Afghanistan 2001. Atas nama Pre Emptive Strike (sebelum diserang maka menyerang duluan)  dan menghancurkan Senjata Pemusnah Massal (Weapon of Mass Destruction) dalam perang Irak 2003. Atas nama ‘menegakkan kedamaian dan keamanan internasional,’ alias menjadi polisi dunia (global cop) atas kehendak sendiri. Semua tindakan kekerasan yang dijustifikasi sendiri.

Korban jiwa yang jatuh oleh serangan tentara AS dan koalisinya, baik pasukan asing maupun warga sipil asing begitu banyak.  Utamanya di Afghanistan dan di Irak.  Belum lagi korban jiwa yang jatuh di Gaza, Palestina. Dimana AS selalu memberikan justifikasi terhadap kekerasan yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza-Palestina

Dalam serangan ke Afghanistan sejak Oktober 2001 sampai pertengahan Januari 2002 saja, sekitar 4500 warga sipil Afghan tewas karena serangan langsung, karena luka parah, karena kelaparan dan sebab-sebab lain yang terkait dengan serangan pasukan koalisi pimpinan AS (data dari Project on Defense Alternative).  Bahkan the Guardian (UK) menyebutkan bahwa sekitar 20.000 warga Afghan tewas baik karena serangan udara maupun serangan darat pasukan koalisi yang mengatasnamakan ‘war against terrorism.’

Dalam serangan AS ke Irak sejak Maret 2003 atas nama menghancurkan senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction), yang belakangan tidak diketemukan, paling tidak telah jatuh 654.965 korban tewas sampai Juni 2006 (versi Lancet Survey) atau 1.033.000 sampai Agustus 2007 (versi Opinion Research Business Survey).

Kemudian, dalam serangan Israel ke Gaza, Palestina, pada Desember 2008 – Januari 2009 (Operation Cast Lead) sekitar 926 warga sipil Gaza tewas.  Dimana diantaranya adalah 116 kaum perempuan dan 313 anak-anak (data dari Palestinian Centre for Human Rights).  Ironisnya, AS selaku ‘polisi dunia’, tidak menentang serangan berdarah tersebut.

Lebih buruk lagi,  dalam serangan Israeli Defense Force terhadap MV Mavi Marmara dalam misi Freedom Flotilla pada 31 Mei 2010, ketika UN Human Rights Council Fact Finding Mission menyimpulkan bahwa serangan tersebut adalah sangat jelas melanggar hukum (clearly unlawful) dan Palmer Report (2011) menyebutkan bahwa serangan tersebut berlebihan (excessive), sebaliknya AS lebih mempercayai laporan investigasi Israel dalam kasus tersebut dengan mengatakan bahwa laporan Israel adalah kredibel, imparsial dan transparan (hurriyet, 25/01/2011).

Hak Asasi Seperti Apa?

Kebingungan berikutnya adalah tentang tafsir hak asasi  apa yang dianut pemerintah dan masyarakat AS sehingga memiliki senjata api dianggap sebagai hak asasi.  Bahkan dilindungi oleh konstitusi.

Amandemen Kedua Konstitusi AS yang diadopsi pada 15 Desember 1791 menjamin hak warga untuk memiliki dan menyandang senjata api (right of the people to keep and bear arms). Antara lain untuk tujuan yang tidak melawan hukum seperti membela diri (self defense) di tanah sendiri dan bukan merupakan bagian dari suatu milisi.

Pada prakteknya tujuan untuk ‘self defense’ dan penggunaan yang tidak melawan hukum ini tidak selalu terlaksana.  Ke -61 kasus penembakan massal yang terjadi sejak tahun 1999 dimana 31 kasus diantaranya terjadi di dalam sekolah/ kampus adalah contoh buruk ketidakberdayaan negara melindungi rakyatnya.  Juga bukti bahwa penggunaan senjata api oleh warga sipil sangat bisa melawan hukum.

Inilah ironisnya.  Kalau tidak bisa dibilang paradoks. Karena, menilik dari serangan ke Afghanistan (sejak 2001) dan Irak (sejak 2003) dan pembiaran AS terhadap kekerasan Israel yang dilakukan di Palestina, utamanya Gaza, pemerintah AS begitu mudah menebar kekerasan di luar negeri dengan segala macam justifikasinya. Perang Melawan Teroris (war against terrorism). Mempertahankan Kebebasan (enduring freedom). Memperjuangkan keadilan yang tak tebatas (infinite justice). Menghancurkan senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction). Sebaliknya begitu sulitnya, mencegah penembakan massal di negeri sendiri yang telah mengorbankan ribuan jiwa warga tak berdosa.  Isu terorisme memang barangkali lebih sexy untuk di luar negeri.  Tidak untuk terorismeyang terjadi di dalam negeri sendiri.

Wallahua’lam

(Note : Opini ini telah dimuat di Harian Republika 19 Januari 2013)

http://budisansblog.blogspot.com/2013/01/paradoks-senjata-as.html

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun