Mohon tunggu...
Heru Susetyo Nuswanto
Heru Susetyo Nuswanto Mohon Tunggu... Dosen - Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.M.Ag. Ph.D - Associate Professor Faculty of Law Universitas Indonesia

Associate Professor at the Faculty of Law University of Indonesia and Human Rights Attorney at PAHAM Indonesia. Studying Human Rights toward a degree (LL.M) at Northwestern Law School, Chicago, and Mahidol University, Bangkok (Ph.D. in Human Rights & Peace Studies). External Ph.D. researcher in Victimology at Tilburg University, Netherlands. Once a mountaineer, forever a traveler...and eager to be a voice for the voiceless people. Twitter : @herususetyo FB : heru.susetyo@gmail.com; e-mail : heru@herususetyo.com; IG : herususetyo2611

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Saya Lebih Baik Makan Garam di Negeri Sendiri..."

3 Desember 2017   17:47 Diperbarui: 4 Desember 2017   04:58 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SAYA LEBIH BAIK MAKAN GARAM DI NEGERI SENDIRI

Luka Anak-Anak TKI di Kaki Gunung Semeru

"Saya lebih baik makan garam di negeri sendiri Pak daripada bekerja lama dan makan enak di negeri orang tapi meninggalkan anak-anak di kampung," ujar A dalam bahasa Jawa khas Lumajang.  A adalah gadis kelas 1 SMP yang lama ditinggal ibunya bekerja di Malaysia. Bukan hanya ibu,  ayah A juga bekerja di Bali dan beberapa kakaknya juga bekerja di Malaysia. Walhasil dia tinggal dengan kakek neneknya saja di Desa Kandang Tepus, Senduro- Kabupaten Lumajang.

Bukan hanya A yang berduka.  R juga.  Bahkan kisah R lebih mengharukan.  Ibu R bekerja di Malaysia dan hanya pulang sekali dalam dua tahun.  Ia tinggal bersama Bude-nya.  Ayahnya bahkan sudah sepanjang usia R tidak pernah pulang menemuinya.  Konon bekerja di Malaysia juga.  R tidak punya memori sama sekali tentang sang ayah.  "Saya kangen ayah saya Pak..." tutur R  lirih.  Nampak ada genangan mata di matanya.  Teman-teman R malah bergantian meledeknya, "R nangis Pak!", teman yang lain mengatakan : "bapaknya dia memang gak mau ketemu anaknya pak!"

Anak-anak dari para TKI di Desa Kandang Tepus yang tengah berkumpul sore itu,  di penghujung November 2017, memang memiliki kedukaan sendiri-sendiri.  Mereka memang tampak riang bermain dan membaca buku dari perpustakaan keliling yang dikelola oleh suatu LSM Pemberdayaan ex TKI Lumajang,  namun nampak jauh di sudut matanya mereka memiliki kedukaan masing-masing.  Duka karena ditinggal lama oleh ibu, atau ayah, atau bahkan oleh keduanya, ke negeri orang.

Di kelompok anak-anak TKI yang mengerumuni saya ada banyak yang punya kisah kelam.  D, bocah perempuan usia SD, lama tak melihat ibunya yang bekerja di Malaysia. Ia tinggal dengan ayah dan kakaknya saja.  AD, bocah laki-laki usia SD juga, ditinggal ayahnya ke Malaysia.  Ia tinggal bersama adik dan kakak dan kerabat dari orangtuanya.  Sementara F, lebih mengenaskan lagi.  Ibu dan Bapaknya sama-sama bekerja di Malaysia selama lima tahun ini dan hanya pulang sesekali.   Yang paling tragis adalah J.  Ia bukan anak-anak lagi,  usianya sudah 19 tahun.  Remaja tepatnya.  Namun kedukaannya sama.  Lima belas tahun sudah orangtuanya bekerja di Malaysia.  Meninggalkan dirinya bersama kakek dan neneknya di Kaki Gunung Semeru.

Para TKI yang bekerja di luar negeri memang tidak sama sekali melupakan anak-anak dan keluarganya. Mereka juga orangtua biasa yang punya kasih sayang dan rasa rindu dengan anak-anak dan orangtuanya.  Namun kemiskinan dan  kesulitan mendapatkan kerja di negeri sendiri serta mimpi indah menangguk ringgit di negeri seberang akhirnya membuat mereka tak punya pilihan.  Satu persatu bekerja di Malaysia,  baik melalui jalur normal maupun jalur gelap.

Mereka tidak sama sekali melupakan keluarganya.  Mereka membelikan sepeda motor, smartphone, membangun rumah dan membelikan tanah bagi keluarganya.  Dari uang ringgit yang tidak sangat besar yang mereka kumpulkan dengan keringat dan air mata di negeri jiran.  Selama bertahun-tahun lamanya.  Hingga, apabila ada ada rumah penduduk yang nampak bagus di Kecamatan Senduro atau Pasrujambe dengan berseloroh teman saya mengatakan :  "ini mesti rumah orang yang kerja di Malaysia, Pak..."

Sepeda motor dan smartphone memang amat penting buat anak-anak TKI. Tapi apakah itu benar-benar yang mereka butuhkan?   Apakah kasih sayang orangtua dapat digantikan oleh gadget?  apakah kehadiran ibunda dan ayahanda terwakili oleh sepeda motor baru dan rumah hunian yang mentereng?

Secara iseng saya bertanya kepada anak-anak lugu ini, adik-adik sekalian kalau sudah besar ingin jadi apa?

Mereka berebutan menjawab :  Pemain bola Pak !  Dosen Pak !  Polwan Pak ! Tentara Pak ! Fisikawan Pak !  Dokter Pak ! Atlit Senam Pak !  Kernet Pak !  Kowad Pak !   ada juga yang menjawab lucu :  ingin mengecilkan badan Pak ! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun