Mohon tunggu...
Uut63
Uut63 Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik UPGRIS

Sebagai seorang pendidik (sejak 1981), saya selalu ingin meningkatkan kualitas diri. terutama sebagai pribadi Muslim, saya sangat interest dengan berbagai ajaran yang mengajak ke jalan kebaikan, dan keselamatan dunia akherat. Di setiap tatap muka dengan mahasiswa, saya juga selalu mengingatkan akan hal ini. Di usia yang tidak lagi muda, saya ingin selalu bisa menebar kebaikan. Mudah-mudahan tidak saja bermanfaat untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Saat ini, saya sedang ingin membuktikan talenta pemberian Allah yang tidak saya sadari. Membaca, menyimak (mendengarkan dan memcermati), kemudian menuliskannya. Sesekali saya masih suka bergabung dengan teman, sahabat untuk menyanyi. Sembari menunggu anugerah Allah untuk bisa segera menuntaskan studi S3, saya ingin melakukan apa saja hal-hal yang bermanfaat. Setidaknya ini merupakan salah satu bentuk syukur pada-Nya. Semoga Allah ridla.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keajaiban Itu Benar-benar Ada 2 (Lanjutan)

10 Desember 2022   15:22 Diperbarui: 10 Desember 2022   15:31 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Assalamu'alaikum, Halo Sahabat Kompasiana yang mulia, Selamat siang. Tentu sedang sanngat bahagia ya, mempersiapkan libur akhir pekan. Baik, saya akan lanjutkan kisah yang mungkin ada di antara sahabat yang juga mengalaminya. 

Kajaiban yang benar-benar saya rasakan, membuat bahagia, lega dan pastinya sangat bersyukur. Pertama, Hidayah yang diberikan Allah pada suami, yang tiba-tiba mengajak berhaji pada tahun itu (2006). Kedua, bahagia dan sujud syukur kala itu, ketika keajaiban itu datang, kami bisa melunasi ONH di tiga hari minggu terakhir batas pelunasan. Subhanallah. Saya benar-benar akan haji! Alhamdulillah. Kejaiban ketiga, ketika dinyatakan suami saya sebagai Karu. Mudah-mudahan menambah keimanan dan meningkatkan ketaqwaannya pada Allah. Kenapa bukan yang lain yang berlatang belakang pendidikan agama lebih baik? Sobat Kompasiana, status suami saya inilah yang nantinya banyak memberikan berkah pada kami di Tanah Suci.

Keajaiban yang lain, luar biasa. Begitu banyak handai taulan, sanak saudara, sahabat, tetangga, yang mensupport keberangkatan kami. Koper kami penuh dengan bekal, itu semua dari mereka. Begitupun, baju-baju yang kami kenakan, ouw... pemberian sanak kadang, handai taulan. Bahkan sangu berupa uang, dari teman, dari pimpinan tempat saya bekerja, bahkan dari kampus. Rasanya, mungkin hanya saya lo, yang kedatangan Rektor secara khusus di rumah hanya untuk mengucapkan selamat. 

Oh... ya, Ibu (isteri Rektor) bahkan memberi saya bekal makanan, lauk, banyak sekali. Waah... pokoknya melimpah. Ketika menjelang keberangkatan ke Islamic Center sebelum ke Donohudan, ada upacara pelepasan yang entah siapa yang punya ide dan mewujudkannya. Ada pembacaan Ayat Suci oleh Mahasisw saya kala itu, dia adalah Qori' terkenal, terima kasih Mas Aniq. Beliau sekarang sejawat saya. Luar biasa, ajaib. Seorang Utami menerima kehormatan seperti itu. Itu semua pasti karena Allah. Allahlah yang menggerakkan orang-orang itu untuk mewujudkan semua itu. Karena kami memang tidak menyelenggarakan Walimatusyaffar.  Di samping tidak merasa perlu, juga tidak ada beaya. tetapi kenyataannya, semua maujud tanpa direncanakan. Subhanallah. Keajaiban. Begitu banyak yang mengantar kami.

Perjalanan menuju Donohudan, Kloter 26 dari Kota Semarang tak bisa saya lupakan. Iiring-iringan Bus Safari yang membawa kami sepanjang jalan, di tempat-tempat tertentu orang melambaikan tangan. Sampai kini bahkan saya masih bergidik jika melewati jalan ini, jalan penghubung antara Islamic Center dengan Pintu Tol Manyaran. Yaa... Allah seperti ini  rasanya terpilih menjadi tamu Allah.

 Keajaiban berikutnya, meski ini sudah merupakan prosedur tetap (protap) dari Pemerintah (Kementerian Agama), tetapi kami terima sebagai keajaiban. Bagaiman tidak, kami berangkat tidak membawa uang sama sekali. Benar-benar hanya mengandalkan Pengembalian yang diistilahkan Uang Saku Jamaah. Masing-masing 1.5 juta. Berdua jadi tiga juta.  Dari uang saku ini, kami bisa berbelanja untuk keperluan hidup sehari-hari di sana. Di antara yang kami beli adalah dua Ember besar untuk mencuci, Kompor listrik, Wajan, Panci. Karena waktu itu, Jamaah harus mencukupi kebutuhannya sendiri selama di Mekkah. Hanya di Madinah selama sembilan hari yang kami mendapat jatah makan sehari tiga kali. 

Alhamdulillah, semua bekal yang kami  bawa, beras, lauk (Sambal kacang, Kering Kentang, Kering Tempe, Rempeyek, Kecap, Mie, Gula, dan berbagai aneka jenis minimun yang diberikan oleh sanak saudara dan handai taulan tadi, saya letakkan di dapur. Maktab kami terdiri dari lima lantai, dengan dapur di setiap lantai. Siapa saja saya persilakan untuk mengambil, dan menggunakan peralatan yang kami beli. Barakallah, setiap hari adaaa... saja, saudara sekloter, se- Maktab yang menyambangi kami untuk meminta makanan, minuman, atau menggunakan peralatan tadi. Entahlah, siapa yang membisiki, setiap ada yang bertanya "Bu, Embernya dipakai apa tidak, ngampil nggih?", saya dan suami selalu menjawab, "Tidak, mangga-mangga punagem rumiyin." Ajaib, bisa berbagi sungguh sangat membahagiakan. 

Sobat Kompasiana, saya akhiri dulu ya. Adzan Asjhar sudah terdengar. Kita harus segera menghadap-Nya, sujud syukur. Nanti kita lanjutkan. Salam Literasi! Wassalamu'alaikum.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun