Assalami'alaikum, Sahabat Kompasiana, Selamat sore. Bagaimana aktivitas hari ini? Mudah-mudahan semua bisa meraih hasil maksimal, dan menemukan hal-hal baru yang lebih memungkinkan lebih baik di masa depan.
Oke, kita lanjutkan traveling semalam. Ceritanya, sesuai dengan tujuan awal ndherekke Eyang Kakung, kami merapat ke Florian Ice Cream. Tempat ini memang tidak asing bagi keluarga kami. Dulu sewaktu anak-anak masih kecil, kami sering membawanya ke sini. Selain menikmati Ice Cream, Florian juga menyediakan camilan untuk orang dewasa, seperti Kroket, Sio May, Tahu Kemul, Mendoan, Kentang Goreng, bahkan Selad dan Nasi Goreng, dll. Sementara untuk anak-anak, mereka juga dapat bermain dengan naik Kuda-kudaan, mobil-mobilan yang tentu saja berbayar dalam hitungan waktu tertentu.Â
Tetapi Florian kini beda dengan yang dulu. Sekarang  rasanya hampir-hampir tidak ada yang pantas untuk anak kecil, kecuali datang berombongan bersama keluarga seperti kami ini. Kalaupun ada ya hanya Ice Cream itu dan mungkin camilan Kentang Goreng Keju. Bahkan tempatnya saja disetting sebagai tempat orang dewasa. Barangkali untuk tempat meeting kecil, atau melakukan kesepakatan bisnis, dan sejenisnya.Â
Saya jadi ingat Toko Oen, seperti Florian letaknya di Jalan Pemuda. Toko kuno ini sepertinya memang memanjakan pelanggannya untuk bernostalgia ke masa silam. Tempat duduknya banyak yang ditata spesial untuk berdua-dua, dengan meja bundar dan kursi-kursi model kuno dan yang menjadikan beda, bertaplak meja bersulam, atau berenda. Jadi Opa, Oma bisa bercengkerama laiknya di rumah sendiri. Suguhan yang ditawarkan seperti Lontong Opor, Rawon, dan aneka masakan Jawa lain, di samping camilan dan yang khas Es Puter yang disajikan di gelas-gelas cantik kecil khusus untuk ini. Jadi ingat masa kecil, banyak penjual Es Puter keliling, yang gelasnya ditata di Angkringnya bersusun-susun.Â
Sepertinya kami memutuskan, tidak mungkin kembali ke Florian lagi. Anehnya, kami ingin suatu ketika bertandang ke Toko Oen untuk menikmati sajian antik dan ekslusif.Â
Dari Florian, kami berdebat kecil soal tujuan kuliner malam. Ada bebarapa yang sebut, Ayam Goreng Pak Supar di Suyudi, Ayam Goreng Sayangan di depan BNI 1946, Nasi ayam Bu Har yang di Sedes, atau ke Fifty-Fifty sekalian pulang. Karena lampu padam, kami batal merapat di Nasi Ayam Bu Har, kami harus berputar arah lagi. akhirnya kami lanjut ke arah Timur.Â
Arah yang sarat dengan nostalgia, karena kami tinggal di sana 32 tahun lamanya. Semua kuliner di sepanjang jalan majapahit pernah kami singgahi. Tidak mampir di Bu Har depan Lotte, e...malah makin jauh ke Timur, ke Ayam Pak Bejo. Masing-masing kami punya kenangan dengan Ayam goreng ini. Selain Bebek Gorengnya yang renyah momol, Sambalnyaaa.... Â
Selain Ayam Goreng Pak Bejo, klami punya ayam Goreng favourit lainnya. Mas nanto, anak kami nomor 2, menceritakan ketika sering kami minta untuk memesannya, Ayam Goreng Pak Latif BLK, Ayam goreng pak Anik, dan yang sangat akrab dengan keluarga kami, Ayam Ken Tumbas .
 Yang khas di Ken Tumbas, Ayam Bakar Bumbu Rujak ala Banjarmasin. sayang kini tiada lagi, sepeninggal Mamahe (begitu kami menyapa istri Om Tong) mereka tidak jualan lagi. Papah sudah terlalu tua, dan lagi anak-anak sudah sarjana dan bekerja. Kami pernah mendengarkan penjelasan ini dari putra sulung mereka.
Puas menyantap nasi dengan lauk Bebek dan Ayam Goreng kami bergegas pulang. Di mobil, kami masih megap-megap karena kepedasan. Tapi bukan Pak Bejo kalau tidak membuat pelanggan pulang dengan keringat bercucuran, dan bibir hampir dower saking pedasnya.Â
Mas nanto ternyata tidak berbalik arah. kami terus menuju Selatan melewati bukit Rowosari menuju Meteseh. Jalan pintas menuju Kota Atas tempat kami tinggal. Yah...Semarang memang kota yang unik dan indah.Â