Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswa

Pasca Sarjana UI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Instrumentalisme Merefleksikan Demonstrasi Hong Kong dan Indonesia

29 Oktober 2019   21:31 Diperbarui: 30 Oktober 2019   12:17 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demonstrasi yang lebih populer dimaknai "DEMO" oleh masyarakat, merupakan gerakan protes yang dilakukan sekelompok orang  dalam menolak atau menentang kebijakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok. "DEMO" atau "Unjuk Rasa" pada umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa dan orang-orang yang tidak setuju atau menolak kebijakan pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh kelompok lain atau gerakan sosial lainnya untuk tujuan yang berbeda.

Beberapa bulan terakhir ini terlihat berita-berita baik di media cetak dan media elektronik mengenai demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat. Yang diprakarsai polemik dari kebijakan-kebijakan pemerintah karena dianggap tidak sesuai dengan budaya politik dalam masyarakat.

Demo besar tiap akhir pekan oleh ribuan hingga ratusan ribu orang yang diduga diselipi aksi anarkis melanda Hong Kong sejak 9 juni 2019 hingga Senin (13/8/19) waktu setempat. Demo dipicu oleh rencana Hong Kong memberlakukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Warga Hong Kong beranggapan langkah ini akan membuat para kriminal menerima perlakuan tidak manusiawi apabila diekstradisi dan mengikuti hukum negara China. Pada awal Juli lalu Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menangguhkan pengesahan RUU Ekstradisi, namun tuntutan demonstrasi tidak cukup pada batas penangguhan, RUU ekstradisi itu harus dihapuskan karena penangguhan dianggap hanya sementara sehingga esok hari dikhawatirkan bisa dihidupkan kembali.

Menurut sejarah, China merupakan bekas jajahan Inggris selama lebih dari 150 tahun. China menyerahkan pulau Hongkong kepada Inggris setelah perang pada tahun 1842 dan menyewakan sisa wikayah Hong Kong ke Inggris selama 99 tahun. Dalam kekuasaan Inggris, Hong Kong menjadi pelabuhan perdagangan yang sibuk, dan ekonominya melejit pada 1950-an karena wilayah itu menjadi pusat manufaktur. Saat itu banyak warga China yang melarikan diri ke Hong Kong untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. pada awal 1980-an, ketika tenggat waktu untuk sewa 99-tahun semakin dekat, Inggris dan China memulai pembicaraan tentang masa depan Hong Kong, Kedua belah pihak mencapai kesepakatan pada tahun 1984, di mana Inggris setuju mengembalikan Hong Kong ke China pada tahun 1997, di bawah prinsip "satu negara, dua sistem". Ini berarti bahwa meski satu negara dengan China, Hong Kong akan menikmati "tingkat otonomi yang tinggi, kecuali dalam urusan luar negeri dan pertahanan" (Federalism). Sehingga, Hong Kong memiliki sistem dan batas hukumnya sendiri, dan berbagai hak termasuk kebebasan berkumpul dan kebebasan berbicara di negara itu dilindungi.

 Sama halnya di Indonesia, aksi mahasiswa bersama elemen pelajar dan masyarakat dilakukan untuk menolak UU KPK yang telah disahkan oleh parlemen di legislatif. Sebelumnya Indonesia pun diramaikan dengan demonstrasi terhadap hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden Tahun 2019 yang diduga tidak adanya netralisasi penyelenggara pemilu dalam melaksanakan pesta demokrasi yang diamanatkan UUD RI 1945 Pasal 22e.

Inilah Negara Demokrasi....

Tak sampai disitu saja, sampai dengan hari ini aksi-aksi dari mahasiswa dan masyarakat terhadap tuntutan demonstrasi masih berlangsung. Kemarin, Senin (28/10/2019) yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda di Indonesia, sejumlah elemen mahasiswa, massa dan buruh tampak memadati kawasan Thamrin Jakarta Pusat melakukan unjuk rasa, kembali menyuarakan aspirasinya agar mengeluarkan perppu atas UU KPK hasil revisi dan penolakan sejumlah pasal dalam RKUHP yang sempat ditunda pengesahannya oleh parlemen.

Jika kita melihat dalam sudut pandang tuntutan aksi-aksi yang terjadi di Hongkong dan Indonesia, keduanya sama-sama menolak RUU hasil penguasa dalam suatu Negara. Penguasa merupakan Eksekutif maupun Legislatif. Negara dibentuk untuk mengatur warga negaranya, karena Hobes dalam pemikiran politiknya mengatakan bahwa manusia itu buruk, sehingga manusia membutuhkan wadah untuk mengatur prilaku.

Dengan demikian bisa dikatakan penolakan-penolakan legitimasi yang berwujud demonstrasi atau unjuk rasa merupakan refleksi dari intrumentalisme, dimana instrumentalisme berasumsi bahwa negara dikontrol dan melayani kepentingan-kepentingan kelas kapitalis. Dan boleh jadi hasil dari legitimasi yang dibuat lebih mendominasi keuntungan terhadap kepentingan masyarakat sebagai warga negara ataukah segelintir hegemoni masyarakat kelas penguasa kapitalis...???

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun