Seorang anak lelaki beranjak dari tempat duduk. Ia menghampiri rak piring dan hendak mengambil sebuah gelas. Melihat itu, ibunya datang dan menegurnya.
"Mana gelasmu, Nak?" tanyanya. Si anak menggelengkan kepala. "Tidak ketemu, Bu," ujarnya. Sang ibu berkacak pinggang. Matanya sedikit membesar. "Cari!" tanggapnya penuh ketegasan.Â
Waktu kecil saya diajari ibu untuk tidak gonta-ganti gelas. Keluarga kami tegas dan keras. Ibu tidak pernah main-main dalam membentuk karakter anak.
Jika salah, dibilang salah dan diberi tahu mana benarnya. Jika benar, dibiarkan dan tidak diapresiasi. Melatih mengajarkan anak tidak haus pujian. Seperti itu seharusnya. Kata ibu.
Setiap kali akan minum, kami, para anak, diharuskan menggunakan satu gelas saja. Kemudian, ambil penutupnya dan tutup gelas itu sampai digunakan kembali.Â
Penutup gelas dimaksud agar tidak ada lalat hinggap di bibir gelas. Awal pertama ibu menegur, saya jengkel. Mengapa hanya untuk minum, sampai diatur seperti itu? Lama-kelamaan, karena tidak ingin kena amarah, saya mematuhinya. Ketiga kakak saya juga sudah terbiasa.
Kebiasaan ini bukan soal gelas di rumah kami sedikit. Bukan perkara ibu tidak punya uang membeli gelas. Tidak juga karena kebanyakan orang di rumah sehingga persediaan gelas kurang. Tetapi, tentang nilai kehidupan yang boleh diajarkan dari keharusan penggunaan satu gelas.
Belajar setia
Mengharuskan anak minum dengan satu gelas saja dan selamanya menggunakan itu perlahan mengajarkan nilai kesetiaan sedari kecil. Anak akan mulai menyayangi gelasnya karena telah terbiasa dan nyaman dengannya. Sejalan dengan itu, ia mungkin marah jika gelasnya dipakai orang.
Jika dewasa nanti, anak sedikit banyak terlatih menyayangi hanya satu suami atau istri. Amarah orangtua jika anak mengganti gelas secara tersirat menggambarkan ada akibat buruk bila berganti pasangan. Ada hati yang terluka. Ada nama baik yang dapat tercoreng.