Setiap yang dirasa pasti terpikir ke otak. Langsung muncul overthinking dan berbagai pertanyaan. Apakah ucapan saya melukai hatinya? Apakah sikap saya tidak pantas dan merugikannya? Apa hubungan kami baik-baik saja? Apakah sapaan saya besok dibalasnya? Apakah kami bisa nyaman jika bertemu? Dan lainnya, yang itu semua mengerubungi otak saya.
Terkadang saya berpikir tidak perlu. Dan saya mengerti, itu harus dibuang. Orang lain bersikap biasa saja, tetapi mengapa saya berpikir berlebihan? Jika saya tidak mengurangi rasa-rasa itu, banyak energi saya terserap untuk hal-hal yang nyatanya sia-sia.
Akhirnya saya sedikit campurkan cuek dalam hati saya. Biarin, masa bodoh, bodoh amat. Saya bersikap sekadarnya saja, merasakan yang benar-benar layak dirasakan, seperti karya cerpen.Â
Ya, selain karena membaca, saya mudah menuliskan perasaan ibu terhadap anak, wanita kepada lelaki, lelaki yang sulit menyatakan perasaan, dan lainnya.
Sudah ya, cukup sekian cerita saya. Yang baik dari kisah ini, tiru. Yang buruk dan bodoh, tinggalkan. Mungkin pembaca para lelaki ada juga yang perasa. Mungkin Anda tersenyum membaca cerita ini. Tidak apa, tidak terlalu buruk bukan, menjadi lelaki perasa?
...
Jakarta
27 April 2021
Sang Babu Rakyat