Ada seorang anak terlahir terlanjur kaya. Sebut saja Budi. Dia anak direktur utama perusahaan ternama, yang bergerak di bidang pertambangan. Sebagai anak semata wayang, dia sangat disayangi dan dimanjakan ayahnya. Semua keinginan dipenuhi, termasuk sekolah hingga keluar negeri.
Selesai sarjana, Budi memilih meneruskan kuliah di luar negeri, dengan peminatan yang sama, finansial. Selepas kuliah, menimbang umur semakin lanjut dan sering sakit-sakitan, maka ayahnya menyerahkan tonggak kepemimpinan perusahaan kepadanya.
Dia, fresh graduated, menjabat sebagai direktur utama. Suatu saat, ayahnya meninggal. Berjalannya waktu, tanpa kehadiran dan nasihat ayah, Budi kelimpungan memimpin perusahaan. Target tak pernah tercapai dan lambat laun perusahaan meninggalkan masa kejayaan. Gulung tikar pun terjadi.Â
Ilustrasi kisah di atas memperlihatkan bahwa tingginya tingkat pendidikan bukan jaminan mampu menjalankan perusahaan. Kendati, di sekolah diajarkan bagaimana caranya berusaha.Â
Latar belakang pendidikan yang berbeda pun seharusnya menjadi pertimbangan dalam menunjuk seseorang menempati posisi di perusahaan. Apa yang telah dipelajari, itu yang menjadi salah satu modal dalam bekerja.
Apalagi, jika seorang fresh graduated langsung dipercayakan memegang tampuk kepemimpinan. Pengalaman bekerja tak ada, bekerja dalam tim pun tak pernah. Kendati, memang itu haknya sebagai anak pimpinan tertinggi.
Ngomong-ngomong soal pengalaman, pernahkah kita temui di lapangan seperti demikian? Orang yang tak pernah memulai dari nol, tiba-tiba dipercayakan menduduki posisi penting dalam perusahaan. Sementara kita, yang berjuang dari dasar lama sekali tak mendapat jabatan.
Orang tersebut sejatinya tak pernah diproses menuju kesuksesan, tetapi merasakan "kesuksesan". Maka tak heran, di tangannya amburadul soal kepemimpinan.
Pentingnya proses
Apa itu proses? Dalam KBBI, proses diartikan salah satunya "runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu". Runtunan yang menghasilkan perkembangan. Kurang lebih seperti itu.