Mohon tunggu...
cholid baidaie
cholid baidaie Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Menulis untuk menghidupkan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Feminisme: Menakar Kesetaraan Gemder dengan Interseksionalitas

26 Februari 2023   20:23 Diperbarui: 26 Februari 2023   20:52 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi feminisme yang mendukung kesetaraan gender. (Sumber: Voa)

Feminisme seringkali dianggap sebagai konsep Barat yang memperjuangkan hak-hak perempuan, namun stigma populer yang menyelimuti feminisme sering membuat masyarakat, khususnya di Indonesia, menolak gerakan ini. Beberapa stigma tersebut antara lain adalah pandangan bahwa feminis membenci laki-laki, tidak boleh menggunakan make-up dan bra, serta anti-pernikahan.

Namun, sebenarnya feminisme bukanlah sebuah gerakan yang membenci laki-laki atau merugikan kaum pria. Feminisme bertujuan untuk menciptakan kesetaraan gender dan menghapus diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan. Gerakan ini juga tidak mengharuskan perempuan untuk menolak pernikahan atau tampil tanpa make-up dan bra.

Sebagai seorang laki-laki yang mendukung kesetaraan gender, saya juga turut memperjuangkan gerakan feminisme. Meski demikian, saya belum bisa disebut sebagai seorang feminis yang "sempurna". Namun, perbedaan gender tidak menghalangi saya untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial untuk memajukan kesetaraan gender dan mengedukasi masyarakat, terutama generasi millennial, mengenai konsep feminisme yang sebenarnya.

Menerima konsep feminisme dan menghapus stigma populer yang menyertainya memang bukanlah hal yang mudah, terutama di negara seperti Indonesia yang memiliki budaya yang kuat. Namun, langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan memahami konsep feminisme terlebih dahulu secara perlahan.

Meski begitu, saya sadar bahwa masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk lebih memahami wajah feminisme yang sebenarnya. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa gerakan feminisme memiliki tujuan yang baik, yaitu menciptakan kesetaraan gender dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Oleh karena itu, saya dengan bangga menyatakan diri sebagai pendukung gerakan feminisme.


Feminisme memiliki banyak arti dan tujuan yang beragam, namun, ada satu hal yang menjadi titik temu, yaitu kesetaraan semua gender dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik. Seorang feminis asal Indonesia, Nadya Karima Melati, menggambarkan feminisme sebagai "pemahaman komprehensif tentang keadilan berbasis gender yang menjadi pijakan untuk pemikiran, gerakan, maupun kebijakan" (Melati, 2019).

Gerakan sosial untuk mencari persamaan hak bagi perempuan sudah ada sejak Pencerahan. Salah satu karya penting dari gerakan ini adalah A Vindication of the Rights of Woman yang ditulis oleh Mary Wollstonecraft pada tahun 1792. Konvensi Seneca Falls pada tahun 1848, yang diselenggarakan oleh Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Mott, dan lainnya, menyerukan kesetaraan hukum penuh dengan laki-laki, termasuk kesempatan pendidikan penuh dan kompensasi yang setara. Setelah itu, gerakan hak pilih perempuan mulai mendapatkan momentum. Namun, gerakan ini menghadapi perlawanan yang sangat keras di Inggris dan Amerika Serikat, di mana perempuan baru memperoleh hak untuk memilih masing-masing pada tahun 1918 dan 1920.

Pada pertengahan abad, gelombang kedua feminisme muncul untuk mengatasi keterbatasan partisipasi perempuan di tempat kerja dan gagasan umum yang cenderung membatasi perempuan di rumah. Sementara gelombang feminisme ketiga muncul pada akhir abad ke-20 dan terkenal karena menantang feminis kulit putih kelas menengah dan memperluas tujuan feminisme untuk mencakup hak yang sama bagi semua orang, tanpa memandang ras, kepercayaan, status ekonomi atau pendidikan, penampilan atau kemampuan fisik, atau preferensi seksual.

Terobosan dalam pemahaman feminisme adalah konsep interseksionalitas. Interseksi memungkinkan kita untuk melihat keterkaitan antara berbagai faktor seperti ras, kelas sosial, gender, seksualitas, dan lainnya yang membentuk praktik diskriminasi yang dialami oleh individu ataupun kelompok tertentu. Konsep ini membuka mata kita bahwa diskriminasi bukanlah hal yang hitam putih atau biner. Ada persimpangan, irisan, serta keterkaitan yang saling berhubungan antar banyak unsur yang kemudian membentuk praktik diskriminasi yang kompleks dan multidimensi. Dengan memahami interseksionalitas, kita bisa mendukung gerakan feminisme yang lebih inklusif dan berkelanjutan untuk mencapai kesetaraan gender yang sebenarnya.

Interseksionalitas struktural menggambarkan bagaimana perempuan seringkali menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan dalam kehidupan mereka, mulai dari kemiskinan hingga kesulitan dalam mencari pekerjaan. Banyak perempuan, terutama yang berasal dari kelompok kulit hitam, sering menjadi korban diskriminasi rasial dalam kelas sosial dan dunia kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun