Mohon tunggu...
HILDA DIANA
HILDA DIANA Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurusan Ilmu Sosial Politik, Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi: Pertaruhan Wajah Kepemimpinan Sipil

25 Januari 2015   23:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini kita disuguhkan sebuah ‘drama’ politik yang memaksa kita untuk ikut larut dalam alur cerita yang diperankan oleh ‘aktor-aktor’ pendatang baru. Publik benar-benar dibuat hanyut. ‘Aktor-aktor’ pendatang baru ini benar-benar piawai mengobrak-abrik perasaan ‘penonton’nya, hingga Si ‘penonton’ mampu merasakan setiap detail adegan demi adegan nampak begitu nyata, alami, seakan tanpa rekayasa. Kesal, marah, resah, merasa terhianati merupakan bagian dari sensasi yang dapat dirasakan ‘penonton’ saat menikmati alur cerita ‘drama’ politik ini.

Demokrasi memang memberikan peluang besar terciptanya ‘drama-drama’ politik semacam ini, utamanya di negara-negara yang belum benar-benar memiliki kesiapan secara matang baik itu dalam aspek struktural maupun kultural. Negara-negara yang belum memiliki kesiapan yang matang ini umumnya adalah negara-negara yang baru terlepas dari hegemoni kekuasaan/pemerintahan otoriter sebelumnya. Reformasi dalam segala sektor, utamanya reformasi bentukpenyelenggaraan negara dan praktik-praktik kehidupan bernegara merupakan suatu keharusan jika negara-negara ini tidak ingin kembali terjebak pada kondisi semula.

Perubahan ini umunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Adakalanya Negara-negara yang tidak tahan dengan panjangnya proses yang harus mereka jalani demi terciptanya sebuah negara yang demokratis, pada akhirnya termakan ‘rayuan’ untuk kembali kedalam pelukan kekuasaan otoriter. Hal ini merupakan resiko yang harus segera diantisipasi oleh negara-negara yang benar-benar memiliki tekad untuk memperbaiki kehidupannya tetapi belum memiliki kesiapan yang matang untuk menerima demokrasi sebagai asas penyelenggaraan kehidupan bernegara. Negara-negara ini dalam konsepsi O’Donnell masuk dalam kategori negara-negara transisi. Salah satu negara dari banyaknya negara-negara yang sedang mengalami proses transisi tersebut adalah negara kita, Indonesia.

Tulisan ini akan memuat mengenai sejauh mana kepemimpinan sipil di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo mampu bertahan ditengah proses transisi, yang didalamnya tentu terdapat bermacam strategi politik, tekanan politik bahkan intrik-intrik politik yang besar kemungkinan akan mengganggu stabilitas kehidupan bernegara.

Manis wacana, tak semanis realita

Rentetan preseden buruk yang mengawali kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo merupakan pukulan telak yang sudah pasti mengganggu jalannya roda pemerintahan yang baru berjalan kurang-lebih selama 3 bulan tersebut. Rasa-rasanya belum kering bibir rakyat Indonesia yang menyuarakan harapan-harapannya yang luar biasa besar kepada Presiden sipil pertama pasca reformasi 1998 ini, yang pada akhirnya mereka harus menelan bulat-bulat realita bahwa harapan-harapan tersebut sulit terwujud.

Belum lagi merealisasikan harapan masyarakat yang menggunung terhadapnya, janji-janji politik yang disampaikan baik itu sebelum terpilih maupun sesudah terpilih menjadi presiden terhenti hanya sebatas wacana belaka. Berikut beberapa janji politik tersebut:

1.Koalisi Tanpa Syarat dan Perampingan Kabinet

Pemerintahan yang bersih dan professional digadang-gadang menjadi ruh dari kabinet kerja yang akan di bentuk oleh Presiden Joko Widodo. Selain itu wacana perampingan kabinet juga menjadi isu sentral diawal kepemimpinannya. Tentunya wacana ini disambut positif oleh seluruh masyarakat Indonesia yang memang sangat merindukan pemerintahan ideal tersebut. Wacana ini menjadi “hot issue”yang dimuat diberbagai media, yang tentunya mampu menaikkan tingkat kepercayaan dan harapan publik terhadap presiden terpilih.

Pemerintahan yang baru ini kembali memperkuat kepercayaan publik terhadapnya dengan mengkomunikasikan para calon yang akan mengisi pos-pos kementrian kepada lembaga-lebaga yang dipercaya publik bersih dari jerat korupsi yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan). Selain itu publik diberikan ruang untuk secara bebas mengajukan calon-calon yang dianggap pantas untuk menduduki pos-pos kementrian melalui sebuah web yang didesain khusus untuk itu.

Manufer politik berlanjut melalui safari politik yang mulai dilakukan oleh sang presiden, pasca Mahkamah Konstitusi memenangkannya dalam persidangan sengketa hasil pemilu. Diawali dengan mengunjungi tokoh-tokoh sentral yang tidak berafiliasi dengannya. Kemudian dengan mengunjungi tokoh-tokoh politik pendukungnya, hingga mengunjungi rival politiknya saat pemilu lalu yaitu Prabowo Subianto. Publikpun semakin terkesima dengan gaya komunikasi politik yang dilakukan oleh presiden terpilih ini.

Sampai pada akhirnya publik tertegun dibuatnya. Koalisi tanpa syarat/non-transaksional yang digadang-gadang, nyatanya hanya ‘isapan jempol’ belaka. Enam belas pos kementrian dari Tiga puluh empat pos kementrian yang ada, diisi oleh kader-kader partai politik pendukungnya, selebihnya diisi oleh orang-orang terdekat presiden ataupun partai politik yang mengusungnya. Selain itu yang lebih disayangkan adalah wacana perampingan kabinet yang nyata-nyata tidak terwujud..

Dalam alam politik, memang tidak pernah dikenal istilah koalisi tanpa syarat ini, karena hal tersebut bertentangan dengan realita serta teori politik yang ada. Austin Ranney seorang pakar politik mengungkapkan bahwa salah satu karakteristik dasar dari partai politik adalah menyeleksi kandidat terbaiknya untuk menduduki jabatan publik tertentu. Selain itu Mark N. Hogopain juga mendefinisikan partai politik sebagai sebuah organisasi politik yang berorientasi pada upaya untuk merebut dan mempertahankan serta menjalankan kekuasaan dalam bentuk kebijakan umum.

Dari definisi partai politik yang dikemukakan oleh para ahli tersebut rasa-rasanya menjadi sebuah keniscayaan bagi partai politik untuk mempertahankan pengaruhnya yang didelegasikan kepada kader-kader terbaiknya melalui lobi-lobi politik yang dilakukan kepada kekuatan dominan agar jabatan dapat diperoleh serta orientasi partai dapat terwujud. Jadi dengan kata lain, adalah mustahil apabila transaksi-transaksi politik tidak terjadi dalam sebuah proses pengambilan keputusan politik.

Sampainya Joko Widodo disinggahsana kursi kepresidenan, tentunya bukan hasil kerja kerasnya sendiri. Ada puluhan ribu relawan, yang bekerja keras siang dan malam untuk memenangkan beliau yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat mulai dari aktivis, kader partai, buruh, LSM, pengusaha, mahasiswa, dan sebagainya. Mereka tentunya memiliki keinginan untuk ikut merasakan hasil dari perjuangan mereka yang diantaranya adalah menduduki jabatan pada kementrian yang dibentuk presiden.

Wacana politik non-transaksional dan perampingan kabinet yang dikemukakan oleh presiden pada akhirnya hanya menjadi blunder bagi pemerintahannya sendiri.

2.Program kesejahteraan rakyat miskin

Presiden yang disebut-sebut sebagai representasi dari kekuatan Wong Cilik(rakyat kecil/miskin) ini, nyatanya belum mampu menciptakan keadaan yang nyaman bagi masyarakat miskin yang memilihnya. Kurang lebih satu bulan pasca terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden, subsidi BBM(bahan bakar minyak) yang sangat menentukan hajat hidup orang banyak, utamanya rakyat miskin, dicabut dengan alasan yang sangat politisnya.

Dengan dicabutnya subsidi BBM, pemerintahan yang baru saja berjalan ini telah berhasil menciptakan suasana yang sangat tidak kondusif, dimana seluruh harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum naik secara drastis. Tentunya elemen masyarakat yang paling merasakan dampak dari kenaikan harga BBM ini adalah mereka yang kehidupan ekonominya tidak mencukupi. Dicabutnya subsidi BBM ini telah menimbulkan kemiskinan-kemiskinan baru dan meningkatkan angka kriminalitas serta gangguan psikis akibat harga-harga kebutuhan pokok yang nyaris tidak terjamah.

Kartu Indonesia Sejahtera yang dianggap mampu menyelesaikan masalah kemiskinan, nyatanya masih sangat jauh dari harapan. Pelaksanaan dalam tataran teknis yang masih semrawut, membuat tidak banyak rakyat miskin yang dapat menikmati manfaat dari kartu tersebut. Belum lagi melalui hitung-hitungan secara matematis, pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh rakyat miskin akibat dihapusnya subsidi BBM tidak berbanding lurus dengan pemasukan yang mereka dapat dari kartu tersebut.

Kepemimpinan sipil atau militer?

Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan dari wakil masyarakat sipil yang paling berhasil masih dipegang oleh Presiden Soekarno, selebihnya pasca Soekarno kepemimpinan militer masih sangat berpengaruh dalam kancah perpolitikan nasional. Figure militer paling berpengaruh tentunya adalah Presiden Soeharto, kurang lebih 33 tahun beliau memimpin Indonesia. Waktu yang sangat lama untuk ukuran sebuah rezim diera modern berkuasa disebuah negara.

Harus diakui bahwa terpilihnya Joko Widodo, mampu mengubah sejarah dan menggeser paradikma yang selama ini berkembang ditengah masyarakat bahwa presiden hanya dapat dijabat oleh mereka yang berasal dari kalangan militer saja. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena memang sejauh ini presiden yang berasal dari kalangan sipil selalu bermasalah dengan penilaian subyektif publik bahwa mereka jauh dari kesan wibawa, tegas, dan pemberani.

Kemenangan wakil masyarakat sipil yang cukup dramatis ini melawan rivalnya yang sangat terkenal dan berpengaruh dari kalangan militer patut diapresiasi. Namun, euphoria kemenangan tidak boleh berlarut-larut. Masyarakat sedang menunggu dan menyaksikan apakah presiden dari kalangan sipil benar-benar mampu mengelola negara lebih baik dari kalangan militer, ataukah tidak.

Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden disatu sisi bisa menjadi sebuah momentum kebangkitan masyarakat sipil dalam menggambil alih tampuk kepemimpinan nasional, namun disisi yang lain hal tersebut bisa menjadi bumerang ketika presiden dari masyarakat sipil ini tidak mampu mengelola dan mengendalikan berbagai intervensi yang datang baik itu yang berasal dari internal maupun eksternal.

Ironiya tanda-tanda ketidakmampuan mengelola dan mengendalikan intervensi tersebut mulai terlihat diera kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini. Rentetan preseden buruk terkait masuknya intervensi “asing” dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan presiden tidak lagi bisa dipungkiri. Yang disebut intervensi “asing” disini adalah intervensi yang berasal dari luar diri Presiden. Bisa dari partai pengusung atau pihak-pihak lain yang merasa memiliki kepentingan.

Yang teranyar adalah berita mengenai pencalonan tunggal Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, dimana faktanya Budi Gunawan merupakan salah satu orang kepercayaan dari Megawati yang tak lain adalah sosok yang berjasa besar bagi Presiden Joko Widodo. Publik sedang menyaksikan dan menunggu apakah Presiden mampu keluar dari tekanan dan berani mengatakan tidak pada pihak-pihak yang ingin mengendalikannya, atau justru ‘menikmati’ kondisi yang terjadi. Kalau memang benar Presiden tidak mampu keluar dari tekanan-tekanan yang ada, maka hal tersebut bisa menjadi catatan merah dalam sejarah, dan semakin melemahkan "citra" sipil dalam memimpin negara.

Mark N. Hogopain, Regimes. Movement and Ideologies, A Comperative Introduction to Political Science Longman, Universitas Michigan, 1978.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun