Meskipun ada berbagai menu: iga bakar, nila kuah kuning, bistik jawa, mangut lele, ayam ungkep, sup buntut, dan banyak lainnya, tetapi kami berteguh hati memesan nasi goreng kecombrang, minuman wedang ukier, wedang secang, dan camilan bakwan jagung serta pisang goreng.
Tidak memerlukan waktu lama, pesanan tersaji di meja. Wangi kecombrang dan bumbu rempah tercium tajam menggugah selera.
"Nasi gorengnya memiliki sensasi berbeda. Tidak sekadar gurih. Ada rasa rempah menggoda dan aroma kecombrang menyegarkan. Satu lagi, nasi gorengnya tidak berminyak," komentar Mas Prapto sambil terus menikmati nasi goreng kesukaannya.
Sambil menikmati sepiring nasi goreng kecombrang plus wedang ukier, saya mendapatkan pengalaman rasa kuliner yang autentik, sesuai tagline Ukier Plawang: nasgitel, mirasa, dan cespleng.
Semua membuat lupa terhadap cerita rakyat yang beredar dalam kehidupan masyarakat pinggiran kali Sempor mengenai misteri bulus raksasa seukuran orang dewasa penghuni bendungan lor. Tidak ingat lagi dongengan misteri suara jeritan anak perempuan di sekitar kali Sempor.Â
Pikiran saya hanya melekat pada kenyataan bahwa di selatan tempat kami duduk saat ini, terdapat tempuran tempat bertemunya kali Sempor dengan kali Duren dan kali Denggung. Ah, mungkin sesaat lagi akan tercipta puisi keheningan yang mengenyangkan di alam terbuka...(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI