Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tantangan Masyarakat Religius: Ketika Negara dengan Tingkat Kebahagiaan Tertinggi Umumnya Negara Sekular

25 Januari 2021   17:45 Diperbarui: 25 Januari 2021   17:53 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari student-activity.binus.ac.id

Tulisan ini bukan menganjurkan sekularisme, apalagi mempromosikan atheisme. Tetapi, mencoba mengajak secara jujur dan berani melihat kenyataan bahwa negara negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi justru dipegang oleh negara negara sekuler yang memisahkan urusan agama (untuk menghindari kata tegasnya mengabaikan agama) dan banyak masyarakatnya tidak terlalu peduli dengan Tuhan. Bahkan kebanyakan anak mudanya tidak percaya bahwa dunia ini diciptakan.

Menariknya adalah ukuran tingkat kebahagiaan itu adalah juga rasa aman, rasa percaya terhadap pemerintah, sikap sosial masyarakat, dll. Yang semua itu masuk dalam ajaran agama, bukankah agama mengajarkan juga kebahagiaan? Tapi mengapa banyak negara yang religius justru rendah tingkat kebahagiaannya? Sebaliknya kejahatan tinggi, korupsi juga tidak kalah tinggi, dan kerusakan alam terjadi karena eksploitasi besar besaran.

Mungkin kita bisa menggunakan common sense, bahwa itu semua tergantung pada pribadinya, pada individunya masing masing. Kalau individunya baik, negaranya juga akan baik, sebaliknya kalau individunya tidak pada baik, wajar juga negaranya rusak. Dengan common sense semacam ini saja, kita bisa melihat kelemahannya atau kritik segera muncul, berarti mengandaikan di masyarakat yang tidak religius malah justru kebanyakan individunya baik baik dong?

Atau bisa juga kita mengajukan sebuah asumsi, kan mereka negara maju? Justru itu tesisnya juga, kemajuan sebuah negara berpengaruh pada tingkat kebahagiaan warganya. Berarti mengandaikan juga tingkat ekonomi. Tapi kita lihat, di negara negara lain juga baik kemajuan negara maupun tingkat ekonominya juga tinggi. 

Kenapa tidak masuk dalam 10 besar negara dengan tingkat kebahagiaan yang tinggi?

Sekedar informasi, bahwa yang termasuk negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi (bisa naik turun, namun di kisaran tidak jauh jauh) adalah Finlandia, Swiss, Denmark, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Islandia, dll. Masyarakat Finlandia, sebagai contoh, membayar pajak tinggi untuk jaring pengaman sosial. Mereka percaya pemerintah memberikan kebebasan yang seimbang dengan jaminan kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. 

Negara dan masyarakat saling peduli satu sama lain. Hal sama, kurang lebih berlaku untuk negara negara lainnya. Meskipun umumnya sikap individual tinggi, tapi efeknya juga menyebabkan toleransi dan kepedulian yang juga relative tinggi. Mungkin terasa paradoks, bagaimana mungkin individual sekaligus peduli.

Saya melihatnya secara psikologis. Mereka individualis dalam arti dan karena menghormati privasi dan kepentingan masing masing individu. Artinya, kalau kita pernah hidup di lingkungan mereka, hampir tidak ada pertanyaan, misalnya kapan kawin? Kapan punya anak? Anakmu berapa? Dan juga pertanyaan agamamu apa? 

Sebaliknya dalam situasi yang mengancam, mereka sangat peka untuk kemudian peduli. Misalnya ketika ada tanda tanda kejahatan, maka ada dua kemungkinan, di sini mereka akan segera membantu atau kalau tidak sanggup membantu sendirian, mereka akan segera melapor ke pihak berwajib. Jaminannya, ketika ketika mereka melapor ke pihak berwajib, keadaan akan segera ditangani.

Persis dalam hal hal tersebut yang di kita justru tidak ada. Misalnya ketika ada KDRT, lalu dianggapnya itu urusan keluarga, dan orang lain tidak boleh ikut campur. Alih alih kita akan segera lapor ke pihak berwajib. Urusannya malah dianggap jadi lebih Panjang. Dan harap maklum, kita menghindari urusan yang Panjang ini. 

Sebaliknya untuk hal hal yang remeh temeh, kita malah cenderung peduli yang kadang tanpa kita sadari hal tersebut mendorong perilaku buruk atau menghadirkan semacam kemunafikan dalam masyarakat. Misalnya, sekedar menghindari omongan orang, atau apa kata dunia. Bukan sesuatu yang buruk, tapi menjadi sangat buruk ketika hal hal semacam ini masuk ke ranah ranah publik. Citra, kemudian masuk dalam teori pencitraan, sekedar mempertimbangkan apa kata orang, apa kata masyarakat, dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun