Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pedagang tempe di Pasar Depok

berminat dengan tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Derita Melati, Nasib Seorang Pelajar di Era Nadiem Makarim

31 Mei 2020   19:02 Diperbarui: 31 Mei 2020   19:48 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: dokpri

Dimasa pandemi covid-19 ini pemerintah memutuskan pelajar harus belajar dari rumah. Siswa sekolah biasanya  mengikuti pelajaran melalui internet yang dikirim oleh gurunya, mengerjakan soal-soal pelajaran di rumah, mengerjakan ulangan, bahkan ujian akhir sekolah di rumah.

Akan tetapi bagi Melati (14 tahun / bukan nama sebenarnya), bukan hanya tinggal di rumah, tetapi juga tidak bisa mengikuti pelajaran dari sekolah. Pelajar sebuah SMP swasta di Pamulang, Tangerang Selatan ini tidak menerima materi pelajaran dari gurunya, sebagaimana diterima oleh teman-teman sekelasnya. Dia di "blackout" oleh pihak sekolah karena orangtuanya tidak mampu membayar uang sekolah selama beberapa bulan terakhir -- bahkan sebelum pandemi covid-19 melanda Indonesia.

Meskipun tidak menerima materi pelajaran dari sekolah, Melati tidak putus asa. Dia tetap berhubungan dengan beberapa teman baiknya untuk dapat mengikuti pelajaran dari sekolah. Melati bahkan mengerjakan soal-soal pelajaran dari sekolah yang dicopy dari temannya. Setelah mengerjakan soal-soal tesebut, Melati lalu mengirimkan kepada gurunya. Ternyata kiriman Melati sama sekali tidak direspon oleh guru kelasnya. 

Saat ini Melati merasa cemas akan masa depannya sebagai pelajar di sekolah swasta itu, meski pun belum ada pemberitahuan dari pihak sekolah apakah dirinya tetap dianggap sebagai pelajar atau dikeluarkan. Melati menyadari, satu-satunya yang bisa mengembalikan statusnya sebagai pelajar dan bisa mengikuti segala proses belajar dengan normal, adalah jika orangtuanya mampu melunasi tunggakan uang sekolahnya.

Sayang itu keinginan Melati atau tepatnya keinginan sekolah, belum bisa dipenuhi oleh ayahnya, sebut saja bernama Yahya.  Menjelang pandemi covid-19 melanda, ayah empat anak ini menerima pemutusan kerja di sebuah perusahaan swasta tempatnya bekerja di Jakarta.  Sementara dia harus menanggung beban seorang isteri dan 4 (empat) orang anak -- kini dua orang sudah lulus SMU. Tinggal Melati dan seorang adiknya yang masih sekolah.

Yahya bukan tidak ingin melunasi iuran sekolah anaknya yang sudah menunggak selama 5 bulan, tetapi ia tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk itu. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk kebutuhan makan keluarganya saja ia hanya bisa menerima bantuan saudara atau bansos dari pemerintah yang dibagikan selama pandemi covid-19 ini.

Apa yang dialami Melati merupakan ironi di negeri yang tengah berjuang untuk meningkatkan kemajuan bangsa di berbagai bidang, terutama di bidang pendidikan. Ketika menyampaikan visi dan missinya, Menteri Pendidikan danKebudayaan Nadiem Makarim menjelaskan, pendidikan adalah apa yang terjadi dalam dua ruang, yaitu di kelas murid dan guru, serta di rumah orang tua dan anak. Melati jelas tidak mendapatkan hal itu.

Ketika menmengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR,  Nadiem meminta para anggota Komisi X dapat memahami bahwa di dalam anggaran Kemendikbud terdapat dua jenis bantuan sosial pendidikan yang harus dibagikan, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah serta KIP Kuliah untuk jenjang pendidikan tinggi. Keduanya merupakan keharusan untuk memberikan akses pada layanan pendidikan untuk anak-anak yang berasal dari kalangan ekonomi lemah.

Bagaimana pelajar seperti Melati yang menjadi pelajar di sekolah swasta bisa menerima fasilitas tertsebut agar dia tidak putus sekolah dan masa depannya tetap terjaga?

Jika Melati putus sekolah, ini sungguh suatu ironi besar di era Mendikbud Nadiem Makarim, menteri yang ingin memajukan dunia pendidikan Indonesia dengan konsep kebijakan yang lebih sederhana.

Mungkin banyak Melati-Melati lain di Indonesia yang tidak pernah diketahui nasibnya karena tinggal di pelosok-pelosok daerah. Tetapi Melati adalah warga Pamulang, Tangsel, yang hanya berjarak 20 kilometer dari kantor Kemdikbud di Jl. Jenderal Sudirman Jakarta.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun