Leonardus Willem Johanes Wattimena atau lebih popular dengan nama panggilan Leo Wattimena, adalah seorang Perwira Tinggi AURI yang pertama kali menginjakkan kaki di bumi Cendrawasih, Irian Barat sejak Tri Komando Rakyat dicanangkan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia dalam rangka perebutan wilayah Irian Barat dari Kolonial Belanda.
Leo Wattimena, anak keempat dari enam bersaudara berasal dari Ambon, lahir di Singkawang pada tanggal 3 Juli 1927 merupakan sosok seorang prajurit yang ulet dan pantang menyerah. Di depan anak buahnya dikenal sebagai atasan yang memiliki sifat tegas dan keras.
Karir Leo Wattimena diawali ketika dikirim bersama 59 calon penerbang lainnya untuk mengikuti pendidikan dan latihan Penerbang di Trans Ocean Airlines Airport (TALOA) California, Amerika Serikat pada tahun 1950.
Setelah menyelesaikan pendidikan dan latihan tersebut, Leo bertugas di Skadron Tempur dengan menerbangkan pesawat jenis P-51 Mustang.
Ketika pada tahun 1957 AURI diperkuat dengan jenis pesawat jet Vampire buatan Inggris, Leo Wattimena bersama dengan Rusmin Nurjadin dikirim ke London untuk belajar menerbangkan jenis pesawat tersebut yang kemudian mengantarkan Leo menjadi Komandan Skadron Pancar Gas Pertama berkedudukan di Pangkalan Udara Husein Sastranegara, Bandung.
Pada masa perjuangan Indonesia merebut Irian Barat, Leo Wattimena yang ketika itu baru berpangkat Kolonel Udara dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala, bahkan pada tanggal 2 Mei 1962 Leo Wattimena dikukuhkan menjadi Panglima Mandala Siaga menggantikan Mayor Jenderal Soeharto, pangkat Leo Wattimena dinaikkan menjadi Komodor Udara.
Ketika Perjanjian Penghentian Permusuhan antara Indonesia dengan Belanda ditanda tangani dihadapan pejabat PBB pada bulan Agustus 1962 di New York, Indonesia segera menggelar sebuah operasi dengan sandi "Operasi Merpati" dengan tugas penyebaran pamphlet-pamflet untuk pemberitahuan kepada pasukan gerilya yang masih berada di hutan-hutan rimba Irian Barat tentang adanya Perjanjian tersebut dan agar mengadakan konsolidasi di kota besar terdekat sambil menunggu pemulangan ke pasukan induknya masing-masing.
Di dalam pesawat Hercules yang dipiloti oleh Letnan Kolonek Udara M. Slamet dan Co-Pilot Mayor Udara Hamsana terdapat Panglima Mandala, Komodor Udara Leo Wattimena, dan 2(dua) orang Perwira Penghubung yang ditunjuk oleh PBB/UNTEA. Misi penyebaran pamphlet telah dapat dilaksanakan dengan baik, Letnan Kolonel Udara M. Slamet mulai mengarahkan hidung pesawatnya ke arah Barat untuk kembali menuju Ambon.
Pesawat Hercules belum terlalu tinggi ketika berada diatas Lapangan Udara Mokpah, Merauke, pada saat itu juga Leo membuka sedikit "headset" yang menempel di telinga Captain Pilot sambil membisikkan sesuatu yang kemudian diketahui bahwa Leo memberikan instruksi kepada Captain Pilot, Letnan Kolonel Udara M. Slamet agar dicoba mendarat di Lapangan Udara Mokpah.Â
Mendengar instruksi tersebut, Captain Pilot menjadi kebingungan.
Jika tulisan, tinta penandatanganan Perjanjian Penghentian Permusuhan saja belum "kering", penyerahan kekuasaan kepada pihak Indonesia secara resmi belum dilaksanakan sehingga secara hukum dan regulasi harus memiliki izin khusus untuk melakukan pendaratan.