Mohon tunggu...
Herkendra Ghiffary Sudarisman
Herkendra Ghiffary Sudarisman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kepentingan Indonesia sebagai Mediator pada Konflik Perbatasan Kamboja-Thailand

8 Oktober 2022   13:56 Diperbarui: 8 Oktober 2022   18:53 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto dari VOA Indonesia

Dari banyaknya macam alasan terhadap suatu konflik yang terjadi di dunia, konflik mengenai masalah wilayah dan batas negara merupakan salah satu sumber konflik yang sangat krusial karena menyangkut integritas dan kedaulatan suatu negara. Melihat dari sejarahnya, masalah perbatasan antara negara Kamboja dengan Thailand ini sudah dimulai sejak tahun 1953, tidak lama setelah Kamboja menyatakan kemerdekaannya.  Konflik yang didasari karena kesimpangsiuran batas wilayah yang dibuat oleh pemerintahan terdahulu Perancis dan Siam serta pengakuan sepihak Thailand terhadap wilayah Kuil Preah Vihear. Hal tersebut memicu kemarahan Thailand yang mengklaim bahwa kuil tersebut juga milik negaranya.  Secara letak, kuil ini berada di wilayah puncak penggunungan Dangrek yang terletak di antara  perbatasan Kabupaten Kantharalak Provinsi Si Sa Ket, tepatnya di timur laut Thailand dan Kabupaten Choam Khasant, utara Kamboja.

Sumber foto dari BBC.com
Sumber foto dari BBC.com

Setelah keputusan ICJ pada tahun 1962 yang menetapkan bahwa kepemilikan atas daerah tersebut menjadi milik Kamboja, tidak ada konflik yang terjadi di antara Kamboja dengan Thailand sampai kemudian eskalasi konflik kembali terjadi di tahun 2008. Eskalasi konflik pada tahun 2008 ini disebabkan pencalonan oleh Kamboja terhadap Kuil Preah Vihear sebagai situs warisan dunia kepada UNESCO. Kamboja juga meminta ICJ untuk memasukkan area seluas 4,6 km2 menjadi kedaulatannya. Pencalonan sepihak tersebut menimbulkan perselisihan yang sebelumnya sudah surut kemudian semakin memburuk dari sebelumnya, masing-masing negara mencoba untuk mengedepankan identitas nasionalnya masing-masing melalui kedaulatan teritorial tersebut. Konflik di tahun 2008 ini juga diperparah karena adanya penggunaan militer yang lebih besar dari konflik sebelumnya dan berdampak pada banyaknya korban yang berjatuhan dari kedua pihak.

Sebagai ketua ASEAN pada tahun 2011, Indonesia tentu seperti "bertanggung jawab" untuk membantu menengahi konflik perbatasan Kamboja-Thailand, karena memang kedua negara yang sedang berkonflik ini juga merupakan anggota dari ASEAN. Alasan lain juga dapat ditunjukkan dengan keinginan Indonesia untuk menjaga keamanan di lingkup regional yang dikhawatirkan jika konflik ini dibiarkan dapat membahayakan stabilitas kawasan. 

Indonesia yang ketika itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, memiliki cara kerja dengan menerapkan diplomasi melalui pertemuan dengan perwakilan langsung dari kedua pihak yang bertikai. Keterlibatan Indonesia sebagai penengah dalam konflik ini secara permanen sudah ditetapkan sejak adanya kesepakatan dari pihak Thailand dan Kamboja pada pertemuan informal Menlu ASEAN di Jakarta pada 22 Februari 2011.

Dalam menjalankan perannya sebagai mediator, Indonesia menghadapi beberapa hambatan yaitu seperti pada termakannya waktu dan energi yang lebih banyak karena perlu adanya dua kali perjalanan untuk mengunjungi dua pihak yang bertikai, tentunya dengan pendekatan yang berbeda pula di setiap negaranya. Tujuan dari berbedanya pendekatan dari kedua belah pihak ini adalah untuk menggali informasi lebih dalam terhadap apa yang sebenarnya dinginkan dari Kamboja dan Thailand serta menemukan jalan tengah yang terbaik terhadap perbatasan ini. 

Diketahui bahwa, kekalahan Thailand pada hasil akhir ICJ pada tahun 1962, berdampak pada penolakan Thailand untuk tidak melakukan penyelesaian konflik selain melakukan negosiasi bilateral dengan Kamboja. Dalam metode ini, Thailand memiliki keuntungan dan merasa lebih kuat karena adanya unsur historis terhadap Kuil Preah Vihear dibandingkan dengan Kamboja. 

Kemudian dilihat dari sisi Kamboja, negara ini menolak adanya negosiasi bilateral dan menginginkan pihak ketiga sebagai penengah konflik perbatasan ini. Alasan dari Kamboja menginginkan hal tersebut karena adanya keuntungan secara tertulis dari keputusan ICJ sebelumnya yang menyatakan bahwa kuil tersebut secara resmi adalah milik Kamboja. Keinginan yang berbeda dari kedua aktor yang bertikai ini berimbas pada semakin runyamnya penyelesaian dari sengketa terhadap wilayah Kuil Preah Vihara.

Upaya lain yang Indonesia lakukan untuk membantu menyelesaikan konflik perbatasan ini dapat terlihat pada adanya bantuan terkait fasilitas yang dapat membantu kedua pihak, seperti ajakan untuk berunding di tempat netral, yaitu di Indonesia. Namun, ajakan ini tidak berjalan mulus, terdapat penolakan dari petinggi militer Thailand yang menginginkan bahwa perundingan hanya dilakukan oleh pihak militer saja, tanpa pihak ketiga. Adanya konflik di internal Thailand ini menjadi penghambat lain dari konflik antara kedua negara ini. 

Masalah internal yang disebabkan oleh perbedaan pandangan antara menteri pertahanan dengan menteri luar negeri Thailand, dan juga di Thailand sendiri, pihak militer termasuk memiliki peran yang cukup penting pada jalannya politik negara tersebut. Menteri Luar Negeri dari kedua negara sejatinya menginginkan untuk membuka jalur perdamaian dengan berunding dan mengizinkan keterlibatan tim pemantau. Namun berbeda dengan Menteri Pertahanan Thailand, Prawit Wongsuwun, ia menyatakan penolakannya terhadap perundingan, terlebih pada izin terhadap keterlibatan tim pemantau. Menurutnya, adanya tim pemantau ini justru melanggar prinsip dari non-intervensi antar negara-negara ASEAN.

Walaupun terdapat perbedaan cara pandang antara menteri luar negeri dengan menteri pertahanan Thailand, Kamboja dan Thailand kemudian menemukan jalan tengahnya setelah bertahun-tahun bertikai. Pada tahun 2013, ICJ kemudian memutuskan untuk menetapkan wilayah Kuil Preah Vihear menjadi zona steril. Militer dari kedua negara diharuskan untuk menarik pasukannya dari zona dimiliterisasi. Keputusan tersebut disambut baik oleh kedua negara dan konflik perbatasan pun sudah tidak terjadi lagi. Indonesia sebagai pihak penengah sudah memilih langkah yang tepat dengan mendengarkan keluhan dari Kamboja dan Thailand. Meskipun dalam praktiknya kerap kali menjadi rumit akibat beberapa hambatan, seperti memakan waktu yang lama dan adanya konflik internal dari Thailand itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun