Mohon tunggu...
Heri Kurniawansyah
Heri Kurniawansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pemimpi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi dan Indikator Runtuhnya Partai Penguasa

2 Maret 2020   22:43 Diperbarui: 2 Maret 2020   22:44 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak Orde Baru sampai era Demokrasi Langsung berjalan saat ini, sejarah mencatat bahwa era kebesaran partai-partai penguasa telah mengalami degradasi kekuasaan dengan beragam determinasi. Golkar dan Demokrat sama-sama pernah menjadi partai penguasa dalam sistem negara yang berbeda, namun kedua partai tersebut pun mengalami keruntuhan di eranya masing-masing. Lalu kita pun bertanya, apa yang menjadi faktor paling mendasar mengapa itu terjadi?. Berikut penulis mendeskripsikan beberapa analisis berbasis case study terhadap beberapa partai penguasa yang pernah jaya di eranya masing-masing.

Suharto dan Golkar

Kekuasaan Suharto dan Golkar selama 32 tahun telah mengakibatkan munculnya abuse of power yang tidak terhindarkan. Situasi tersebut telah memunculkan tokoh-tokoh progresif untuk menentang kekuasaan absolud Suharto dengan mengusung tiga isu utama, yaitu "korupsi, ototiter, dan sentralistik". Tiga isu tersebut telah memunculkan sikap reaktif masyarakat yang begitu menggelora, pada akhirnya demontrasi terbesar pada tahun 1998 pun tak terhindarkan. Maka runtuhlah Orde Baru, yang selanjutnya memunculkan sistem politik yang multi partai atas nama demokrasi dan kebebasan.

Golkar pun seperti kehilangan rumahnya. Sebagian besar kadernya pun lebih memilih hengkang, bahkan lebih memilih membuat partai sendiri ketimbang masih bersemayam di partai yang telah membesarkan namanya. Kondisi tersebut semakin menghilangkan kepercayaan publik terhadap Golkar. Mengapa demikian?, sebab kasus dan isu besar tersebut telah memojokkan nama Suharto sebagai "fungsionaris kunci" dari partai penguasa tersebut. Aktor kunci inilah yang menjadi episentrum perubahan kepercayaan publik terhadap Golkar, pada akhirnya Golkar mengalamai degradasi kekuasaan pada pemilu pertama setelah Orde Baru, dan ironisnya Golkar dikalahkan oleh partai pendatang baru yang secara konkrit mampu memanfaatkan ketidakpercyaan publik kepada tokoh-tokoh klasik yang bernaung di bawah partai-partai Orde Baru, yaitu Partai Demokrat yang secara tiba-tiba menjadi "Partai Supra" dalam kurun waktu yang relatif singkat di bawah komando dan ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Nazaruddin dan Demokrat

Demokrat pun berhasil menjadi partai penguasa pada saat itu, yang juga ikut menghantarkan SBY menjadi presiden selama dua periode. Selain itu, Partai Demokrat juga berhasil menempatkan para tokoh dan kadernya menduduki berbagai jabatan strategis di berbagai level, mulai dari pusat sampai ke level daerah tingkat II. Sama halnya dengan Golkar, terlena dalam kekuasaannya telah memunculkan perilaku koruptif secara alamiah dari beberapa kadernya. Pada akhirnya bau-bau korupsi pun muncul ke permukaan. Kasus yang paling viral dan memiliki bobot yang paling berat ketimbang kasus lainnya adalah kasus yang dilakukan oleh Nazaruddin yang menjabat sebagai bendahara partai Demoklrat saat itu. Dari kasus inilah cikal bakal runtuhnya partai Demokrat dari kekuasaannya. Mengapa demikian?, karena yang korupsi adalah aktor kunci dari seluruh pintu rahasia korupsi lainnya.

Apa yang terjadi?, Nazaruddin mulai bernyanyi dengan membongkar satu persatu keterlibatan para elit di partainya, termasuk ketua umunya yaitu Anas Urbaningrum. Dari rentetan itu pula kasus tersebut mulai menyebut nama SBY beserta keluarganya, pada akhirnya kepercayaan publik kepada Demoktrat mulai surut. Hal tersebut semakin nyata pada saat pemilu berikutnya, terang saja kekuasaan Demokrat selama dua periode pun runtuh ditengah partainya memiliki kader-kader potensial dalam pusaran politik nasional. Sampai saat ini pun Demokrat seolah kehilangan arah dan tidak memiliki pegangan yang kuat. Terbukti dalam dua Pilpres terakhir seolah-olah partai Demokrat tidak memiliki teman koalisi ataupun oposisi.

Bagaimana dengan Harun Masiku dan PDIP ?

Fenomena Harun Masiku telah mengingatkan kita kepada sosok Nazaruddin di partai Demokrat. Seolah-olah PDIP menjadi sangat terganggu akan kasus Harun Masiku, padahal nilai korupsi yang dilakukannya terbilang recehan dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi lainnya dalam skala nasional, sementara begitu banyak kasus korupsi dari kader PDIP menjadi tidak sepenting kasus Harun Masiku. Situasi ini membuat publik menilai bahwa Harun Masiku adalah aktor kunci dari kasus korupsi ini, yang selanjutnya tidak menutup kemungkinan akan menyeret para elit tertinggi di partai tersebut.

Sampai detik ini pun Harun Masiku masih belum diketahui keberadaannya. Fenomena tersebut semakin menguatkan dugaan publik bahwa Harun Masiku merupakan aktor kunci yang akan menyeret para elit PDIP lainnya. Jika benar demikian, bukan tidak mungkin PDIP akan mengalami kondisi yang sama seperti Golkar dan Demokrat. Dua contoh kasus tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa korupsi yang melibatkan fungsionaris kunci dalam satu partai yang akan menyeret orang-orang paling penting di dalamnya pasti akan membuat kepercayaan publik menjadi hilang kepada eksistensi partai tersebut. Inilah cikal bakal sebuah partai besar akan mengalami keruntuhan kekuasaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun